Salah satunya dalam pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS).
Aturan tersebut termaktub di dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 132 Tahun 2018 tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik.
Meski aturan baru ini sudah cukup baik, bukan berarti tanpa celah. Salah satunya ketika terjadi proses sengketa pasca-pemilihan P3SRS yang melibatkan pihak-pihak yang merasa lebih berhak menjadi pengurus P3SRS.
Kepala Keasistenan Pencegahan Ombudsman Jakarta Raya Arif Wibowo menuturkan, di dalam pergub tersebut diatur bagaimana mekanisme musyawarah harus dijalankan saat pemilihan P3SRS.
"Nantinya (hasilnya) harus diserahkan ke Dinas Perumahan untuk disahkan," kata Arif kepada Kompas.com, Jumat (1/3/2019).
"Nah, ketika salah satu pihak merasa lebih berhak menjadi pengurus terus digugat ke kadis, kadis tidak ada mekanisme penyelesaian perselisihan. Di pergub itu belum diatur," katanya.
Pembentukan P3SRS, menurut Arif, sarat dengan kepentingan pengembang. Sebab, di sana terdapat perputaran uang yang besar, misalnya dalam penarikan iuran pengelolaan lingkungan (IPL).
Di salah satu apartemen di bilangan Jakarta Selatan, misalnya, pengelolanya menarik iuran IPL Rp 5 juta per tahun per unit. Bila dalam satu tower terdapat 1.000 unit, uang yang dihimpun mencapai Rp 5 miliar.
Sementara total unit apartemen tersebut hampir 13.000 unit. Artinya, dalam setahun iuran IPL yang ditarik mencapai Rp 65 miliar.
Pendapatan tersebut belum termasuk biaya sewa kendaraan bulanan, tagihan listrik dan air.
"Itu sudah jadi passive income. P3SRS ini mengelola begitu banyak rupiah gitu lho," kata Arif.
Oleh karena itu, ia berharap agar kekosongan aturan dalam penanganan sengketa pemilihan P3SRS ini dapat segera dipecahkan.
Hal ini supaya P3SRS yang sejak awal diharapkan bisa melindungi hak-hak penghuni dapat menjalankan fungsi sebaik-baiknya.
https://properti.kompas.com/read/2019/03/01/183453421/ada-celah-dalam-aturan-baru-terkait-pengelolaan-apartemen