JAKARTA, KOMPAS.com - Banyak pemain properti yang menggunakan terminologi milenial sebagai gimmick jualan, namun mereka tidak memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan istilah tersebut.
Studi Rumah123 Property Outlook 2019 menunjukkan, milenial dengan rentang usia 30-35 tahun menjadi kelompok usia early majority dalam pembelian properti (34 persen). Kecenderungan ini diprediksi meningkat seiring pertumbuhan daya beli mereka.
Studi tersebut sejalan dengan data Departemen Makro Prudensial Bank Indonesia yang menyebut debitur usia muda serentang 26-35 tahun mendominasi kredit pemilikan rumah (KPR) sejak 2014-2018.
Pada segmen rumah tapak tipe 22-70, misalnya, meski kelompok usia tersebut yang mengajukan permohonan KPR hanya berkisar 35 persen tahun 2014, namun, pada 2018 justru melonjak 45 persen.
Hal serupa juga terlihat pada properti jangkung atau apartemen yang mengalami peningkatan dari 30 persen pada 2014 menjadi 35 persen pada 2018. Meski di antara rentang waktu tersebut sempat mengalami penurunan, BI tetap mencatat tren positif.
Perlu pengalaman
Menarik milenial sebagai calon pembeli potensial memang gampang-gampang susah.
"Mereka itu harus diberikan experience. Harus ditunjukkan, 'eh enaknya kalau punya rumah itu gini lho'," kata Untung dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (24/1/2019).
Ketika ada kesan pemaksaan, generasi ini akan berpikir ulang untuk membeli hunian yang ditawarkan. Terlebih, properti bukan menjadi preferensi utama mereka dalam membelanjakan uangnya.
Mereka cenderung ingin mendapatkan sesuatu berupa pengalaman, entah itu dalam bentuk pelesiran maupun hangout bersama rekan-rekan sejawatnya.
"Mereka akan bilang ngapain beli rumah, mendingan sekali ke Jepang habis beberapa juta tapi bisa masukin foto ke FB (Facebook), Instagram," kata Untung.
Lantas, apa yang harus dilakukan pengembang dapat menarik potential buyer ini?
Menurut Untung, pengembang yang menawarkan properti menarik, dari sisi harga hingga desain, akan lebih dilirik generasi ini. Mereka tak peduli apakah properti tersebut ditawarkan oleh pengembang besar atau kecil.
"Visual ini penting sekali. Brand iya (penting), tapi itu nomor dua. Sekarang yang penting penampilan. Kenapa? Karena mereka punya daya beli dan brand identik dengan mahal," kata dia.
Berbeda dengan generasi sebelumnya, milenial tak lagi mendatangi developer untuk membandingkan antara properti satu dengan lainnya.
Ibarat tes, mereka justru datang ke developer untuk mencocokkan informasi yang sudah mereka peroleh sebelumnya dari penelusuran daring maupun dari orang tua.
Misalnya, tentang tren model rumah, harga properti dan tanah di suatu kawasan, hingga pengembangan wilayah.
"Sekarang, mereka datang untuk memvalidasi informasi. Ini bahayanya konsumen sekarang, mereka datang untuk ngetes," cetus Untung.
Ketua Umum DPP Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (AREBI) Lukas Bong menilai, daripada memberikan gimmick, jauh lebih menarik bila menawarkan kemudahan cara pembayaran kepada milenial.
"Gimmick semacam itu kurang menarik buat milenial. Mereka cenderung melihat cara bayarnya, uang muka atau (DP)-nya yang murah," tambah Lukas.
Senada dengan Untung, Lukas mengatakan, memberikan pengalaman kepada kelompok ini juga merupakan cara efektif untuk menggaet mereka.
Misalnya, dengan menghadirkan show unit dan showroom menarik bak IKEA. Sayangnya, hal ini terkadang jarang dilakukan oleh para pengembang.
"Kadang-kadang yang dilakukan developer itu sifatnya hanya opsional," ujarnya.
Hal lain yang juga menjadi pertimbangan yaitu lokasi. Namun, tak hanya lokasi strategis, tetapi juga yang dekat dengan akses transportasi umum seperti stasiun atau terminal.
https://properti.kompas.com/read/2019/01/25/105338721/siasat-menarik-milenial-beli-rumah