Salah satu caranya yang telah dan tengah digiatkan adalah dengan mempercantik wilayah tersebut agar terlihat artistik dan menarik.
Puluhan bangunan yang berada di Jalan Panggung dicat ulang karena kusam. Namun setelah proses pengecatan tersebut, banyak pihak yang merasa kurang sreg karena tidak sesuai dengan konsep yang diberikan.
"Ini kan bukan kampung warna-warni yang dasarnya kampung kumuh. Ini kawasan sejarah, artinya banyak pertimbangan yang bisa dilakukan," ujar pimpinan forum komunitas sejarah, Begandring Soerabaia, Kuncarsono Prasetyo, kepada Kompas.com, Selasa (15/1/2019).
Kuncarsono menambahkan, revitalisasi harusnya jangan diterjemahkan serampangan. Pemerintah kota, lanjut dia, harus lebih serius dan sabar dengan mengikuti kaidah pemugaran paling sederhana.
Dalam catatan yang diunggah di akun Facebook pribadinya, Kuncarsono menulis, pola kerja yang ditunjukkan tak ubahnya kerja bakti kampung.
Pengecatan ulang bangunan tua di sepanjang Jalan Panggung dilakukan secara serampangan. Hampir seluruh bangunan di sepanjang jalan ini dicat dengan warna-warna mencolok.
"Bangunan art nouveau era 1920-an yang aslinya kaya ornamen, berwarna pastel hangat, tanpa ampun disulap jadi Barbie Pink House Style," ujar Kuncarsono.
Pengecatan rumah dengan warna-warni mencolk itu kemudian diaplikasikan ke puluhan bangunan era kolonial lain di Jalan Panggung.
"Apakah keputusan melabur warna-warni salah? Tidak. Pemkot menyatakan meniru visual kota tua ala shophouse di Singapura, wabilkhusus di Little India yang colorfull," lanjut dia.
Untuk kedua kawasan tersebut, Kuncarsono mengatakan, Singapura sudah melakukan studi kultural desain sebelum merekayasa kawasan bersejarahnya pada periode 1980-1990.
Warna-warni bangunan di Little India yang mencolok misalnya, memang sesuai dengan budaya India yang memang erat dengan festival.
Tak hanya Little India, Kuncarsono juga menyebutkan kawasan Chinatown. Warna yang digunakan lebih beragam, meski hampir semua menggunakan warna pastel yang lebih lembut.
Sementara Kampong Glam, menggunakan warna emas, krem, dan turunannya. Oleh sebab itu, warna-warna ini kerap ditemui di sekitar Masjid Sultan.
"Anda tidak akan menemukan warna-warni ngejreng di Kampong Glam yang berkultur Melayu dan Arab," ucap dia.
Menurutnya, tidak pernah ada sejarah kultur India di Jalan Panggung. Jika merujuk pada kajian sejarah, kawasan ini adalah Malaische Kamp atau Kampung Melayu.
Dia mencontohkan, sebelum memugar, pemerintah seharusnya membuat mock up desain, berdiskusi dengan pemilik rumah, serta mempertimbangkan masukan dari pakar. Baru kemudian melakukan eksekusi dengan sungguh-sungguh.
"Kota sebesar dan sepenting Surabaya sebaiknya sudah pantas memiliki semacam Design Trust for Public Space, supaya tidak muncul olok-olok yang tidak perlu," kata Kuncarsono.
"Misalnya ada rumah gaya Indisch namun dicat merah dan kuning, sehingga olok-olok mirip kelenteng atau markas brimob," lanjut dia.
Senada dengan Kunarsono, sejarawan dan dosen Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Adrian Perkasa, menyebutkan, bangunan di Jalan Karet mewakili permukiman Tionghoa sedangkan Jalan Panggung mewakili permukiman Melayu dan Arab.
https://properti.kompas.com/read/2019/01/16/092311821/ingat-kota-tua-surabaya-bukan-barbie-pink-house-style