Pasca-musibah tsunami yang melanda Selat Sunda, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyebut ada indikasi pelanggaran tata ruang atas bangunan yang rusak.
Letak bangunan tersebut berada dekat dengan bibir pantai, bahkan beberapa hanya berjarak sekitar lima meter. Keberadaan bangunan tersebut salah bila merujuk UU Tata Ruang.
Namun, Basuki mengaku, tak bisa menindak bangunan yang melanggar karena wewenang itu berada di ranah Kementerian ATR/BPN.
Menanggapi hal itu, Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Bernardus Djonoputro menilai, banyaknya korban yang berjatuhan akibat tsunami karena adanya kekosongan kendali pemerintah pada sektor tata ruang.
"Tidak perlu merasa aneh kalau saat ini antar kementerian terkesan saling menunjuk. Sebenarnya penyebabnya karena memang saat ini pemerintah tidak punya satu kendali terhadap isu penataan ruang," kata dia lewat pesan singkat kepada Kompas.com, beberapa waktu lalu.
Beberapa jenis pelanggaran tata ruang yang sering terjadi antara lain pemanfaatan tata ruang yang tidak sesuai dengan peruntukkan seperti area terbuka hijau dijadikan pelabuhan, kios atau restoran.
Kemudian, adanya intensitas pembangunan bangunan yang tinggi, dimana seharusnya di lokasi tersebut pembangunan rendah.
Hal lain seperti menambah struktur daratan atau reklamasi dan pembangunan di sepanjang pantai yang hanya mengandalkan infrastruktur jalan yang ada tanpa melakukan riset tentang resiko bencana.
"Kita hanya fokus dan perkuat di tanggap bencana. Sementara, tidak ada satu kementerian pun yang punya satu komando untuk tata ruang," kata Bernardus.
"Otomatis pelanggaran-pelanggaran tata ruang terjadi di hampir semua kawasan pesisir. Korban selalu banyak karena terjadi pelanggaran dan pemanfaatan ruang yang tidak terkendali," imbuh Bernardus.
Ia mengingatkan, pembangunan di wilayah sepadan pantai harus diatur dalam sebuah aturan dan ditegakkan. Meski demikian, bukan berarti wilayah tersebut tidak boleh dibangun.
"Pada saat penentuan KDB dan KLB dalam RDTR, harus menyertakan resiko bencana. Karena sepanjang bisa dikelola resikonya, kenapa harus dilarang," ujarnya.
Selain itu, harus ada satu komando pemerintah untuk pengembangan infrastruktur baik konektivitas, urban maupun infrastruktur logistik di pesisir.
"Basis utamanya harus tata ruang dan resiko bencana tata ruang," tandasnya.
https://properti.kompas.com/read/2019/01/02/115534521/ada-pelanggaran-tata-ruang-pemerintah-tak-berdaya