Menurut Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), akar permasalahan sengketa tanah adalah bukti kepemilikan dan masih tingginya ketimpangan penguasaan tanah.
Sesuai data yang ada, sengketa tanah paling sering terjadi yaitu antar-perorangan sebanyak 6.071 kasus atau 56,20 persen.
Kemudian, konflik antara masyarakat dan pemerintah berjumlah 2.866 kasus atau 26,53 persen.
Lalu, diikuti sengketa antara perorangan dan badan hukum yang mencapai 1.668 kasus atau 15,44 persen.
Selanjutnya, konflik yang terjadi antar-badan hukum sebanyak 131 kasus atau 1,21 persen.
Terakhir, sengketa antar-kelompok masyarakat sejumlah 66 kasus atau 0,61 persen.
Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan A Djalil mengatakan, tanah yang masih dalam keadaan sengketa atau perkara di pengadilan tidak dapat diproses untuk sertifikasi.
Para pihak yang terlibat sengketa harus menyelesaikan dulu masalah mereka, setelah itu baru sertifikat tanah bisa dibuat.
"Semua surat-suratnya jelas, tapi masih sengketa. Makanya harus diselesaikan dulu, baru bisa diurus sertifikatnya," ujar Sofyan dalam paparannya di Universitas Indonesia, Depok, Senin (17/12/2018).
Selain itu, lanjutnya, Kementerian ATR/BPN juga menggencarkan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) sebagai solusi untuk menyelesaikan konflik pertanahan.
Salah satu manfaat dari program ini yaitu masyarakat akan memperoleh kepastian hukum atas tanah miliknya yang sudah disertifikatkan.
Sebab, jika tanah itu tidak jelas kepemilikan dan sertifikatnya, akan menimbulkan konflik antar-sesama warga yang mengklaim tanah tersebut.
"Hampir semua tanah berpotensi dikuasai orang lain kalau tidak disertifikatkan," pungkas Sofyan.
https://properti.kompas.com/read/2018/12/18/125954021/sengketa-tanah-antar-perorangan-tembus-6071-kasus