Hal itu bisa diwujudkan dalam bentuk persyaratan yang dibuat oleh pemerintah daerah (pemda) agar tidak terlalu kaku dan ada batas toleransinya.
Sebab, jika tidak begitu, penerapan konsep TOD nantinya malah jadi sulit yang ujung-ujungnya akan merugikan masyarakat juga.
“Mungkin kami perlu atur lagi pemda dengan melihat itu, artinya kalau mau masuk TOD cobalah lebih fleksibel. Misalnya soal ketinggian maksimal bangunan dan Koefisien Dasar Bangunan (KDB). Zaman now gitu lho,” tutur Dwi Hariyawan saat diskusi bertema "Building Jakarta Upwards" di Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB), Jakarta, Senin (10/12/2018).
Selain itu, mengenai perizinan juga mestinya tidak lagi seperti zaman dahulu yang birokrasinya berbelit-belit.
Seharusnya sekarang ini pemda sudah menerapkan sistem daring sehingga bisa diakses oleh siapa pun, di mana saja, dan kapan saja.
Dwi mencontohkan penerapan sistem Online Single Submission (OSS) yang dilakukan oleh pemerintah di berbagai bidang dan institusi.
Ternyata sistem itu mendapat reaksi yang berbeda-beda, ada yang setuju dan tidak setuju.
“Model perizinan juga pakai online-lah. Kami coba buat OSS itu pertentangannya luar biasa, tidak bisa diterima begitu saja,” imbuh Dwi.
Perlu perubahan mental dari aparat pemerintah pusat dan daerah untuk menghasilkan regulasi yang mempermudah proses perizinan.
“Yang penting itu perubahan mental untuk jadi lebih baik. Kalau itu sudah tercapai, semuanya akan mudah. Untuk masalah teknis bisa diselesaikan dengan perhitungan. Tapi kalau mental ini susah, enggak cukup setahun dua tahun. Keluarnya suatu aturan itu melahirkan peizinan. Itu yang bahaya,” pungkasnya.
https://properti.kompas.com/read/2018/12/10/231219621/perizinan-tod-harus-ringkas-dan-fleksibel