JAKARTA, KOMPAS.com - Wali Kota Bogor Bima Arya menilai sebagian besar kota-kota di Indonesia menghadapi problem sama. Terutama, saat penataan kawasan hendak dilakukan oleh pemerintahan yang baru.
Setidaknya, ada empat hal yang kerap menjadi masalah penataan yaitu banyaknya ruko, pedagang kaki lima dan angkot yang tidak tertata rapi, lautan sampah, serta pembangunan yang tidak memiliki karakater.
"Ini kebanyakan kota seperti itu," kata Bima dalam sebuah diskusi bertajuk 'Who Build Cities?' di Jakarta, Selasa (4/12/2018).
Menurut dia, ada tiga kesimpulan yang dapat ditarik dari buruknya perencanaan kota. Pertama, adanya quick win trap yang kerap dilakukan kepala daerah baru.
Bima menjelaskan, kepala daerah baru seringkali mendapat tekanan berbagai pihak tentang program kerja mereka dalam 100 hari, enam bulan, bahkan setahun pasca menjabat.
"Jadi semua terobsesi untuk membuat sesuatu yang cepat dilihat dan cepat dirasakan. Bisa bagus (dampaknya), bisa juga bahaya," tutur Bima.
Langkah itu bagus, menurut Bima, bila kebijakan yang diambil kepala daerah baru dapat berdampak substantif terhadap sistem dan kultur yang ada.
Namun, berdampak buruk bila kebijakan yang diambil justru hanya dirasakan di permukaan saja.
"Apalagi kalau quick win ini hanya gratis ini, gratis itu. APBD jebol, warga enggak dapat apa-apa. Begitu kemudian wali kota yang lebih waras terpilih, APBD jadi lebih sehat, dia (warga) udah kepalang manja," terang Bima.
Kedua, kecenderungan birokrat yang hanya terpaku pada konsep menggugurkan kewajiban. Misalnya, Dinas Pekerjaan Umum dan Pemukiman mendapat anggaran sekian untuk membangun pedestrian.
Mereka kemudian melaksanakan proyek tersebut tanpa melihat apa dampak yang ditimbulkan dari proyek yang dilaksanakan.
"Misalnya, tiba-tiba di tengah (trotoar) ada lampu jalan, ada sign, trotoar terputus karena lewat ruko atau rumah orang, jadi nanggung. Yang penting hanya menghabiskan anggaran," ujar dia.
Terakhir, adanya eksklusivitas dari birokrat. Dalam arti, ada kesan alergi bila muncul ide atau gagasan baru lantaran kekhawatiran mengganggu kepentingan mereka.
"Mungkin dinas sudah terlalu nyaman dengan vendor tertentu, jadi kalau masuk konsep lain kepentingannya terganggu," kata dia.
Hal-hal seperti ini, menurut Bima, sangat berbahaya. Ia menilai, sebuah kota seharusnya dibangun berdasarkan ide dan gagasan, bukan hanya kepentingan politik tetapi juga kepentingan ekonomi.
Di tengah APBD yang konservatif, pendapatan asli daerah yang konservatif serta rencana kerja yang bernasib sama, pemda justru akan menghadapi tantangan dari sektor swasta.
"Ya ditinggal kita," tandasnya.
https://properti.kompas.com/read/2018/12/04/183000121/masalah-pemerintahan-baru-angkot-dan-hambatan-birokrasi