TOKYO, KOMPAS.com - Semrawut, adalah gambaran sehari-hari beberapa stasiun besar di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) pada jam-jam sibuk baik pagi maupun sore hari.
Di Stasiun Bogor, Stasiun Tebet, atau Stasiun Bekasi, misalnya, pada pagi hari para pengguna commuter line akan mengular tak beraturan saat hendak memasuki kereta. Bahkan, tak jarang mereka akan saling berdesak-desakkan agar dapat masuk ke dalam kereta.
Pemandangan serupa juga bisa didapati di Stasiun Tanah Abang, di mana penumpang yang ingin turun dari kereta yang berasal dari relasi Maja, Serpong, dan Parung Panjang, terhambat oleh penumpang yang ingin masuk kereta.
Meski telah dipisahkan antara jalur kedatangan dan keberangkatan, namun karena kondisi tangga yang sempit membuat keberadaan jalur pemisah itu seakan tak berfungsi sebagaimana mestinya.
Sistem manajemen stasiun yang baik diperlukan agar masyarakat dapat dengan leluasa dan nyaman saat hendak naik maupun turun dari kereta. Juga pada saat mereka bergerak di dalam area stasiun.
Di Jepang, misalnya. Para pengguna kereta telah diatur sedemikian rupa. Meski pergerakan manusia sangat cepat, hal itu tidak membuat pemandangan semrawut.
Keteraturan itu setidaknya dapat dilihat di Stasiun Subway Yokohama. Pada bagian peron, pengelola stasiun membuat garis-garis yang menjadi tanda bahwa calon penumpang kereta harus menunggu sesuai dengan garis tersebut.
Keberadaan garis itu cukup membantu mengatur pergerakkan penumpang, terutama saat ada yang turun dari kereta.
dengan begitu, mereka tidak perlu berdesak-desakkan karena penumpang yang hendak naik telah berbaris rapi mengikuti pola garis yang ada.
Di sisi lain, petugas secara simultan terus mengingatkan penumpang melalui pengeras suara yang ada agar mengikuti garis tunggu yang telah disediakan.
Aturan di Semua Stasiun
Aturan naik kereta ini tidak hanya ada di subway, tetapi juga semua stasiun kereta yang ada di Jepang. Di stasiun manapun akan terlihat garis-garis pengarah pergerakkan orang.
"Dan aturan ini harus dipatuhi terutama saat jam-jam sibuk agar tidak terjadi tabrakkan," tutur Deputi Direktur Management Station Office Yokohama Municipal Subway, Nakano di kantornya, Jumat (30/11/2018).
Di samping garis pengatur, juga terdapat guidance block yang memudahkan penyandang disabilitas saat hendak turun dan naik kereta.
Jalur khusus itu berada di depan garis pengatur, guna memberikan prioritas kepada penyandang disabilitas saat hendak mengakses kereta.
Misalnya, tidak boleh makan dan minum saat kondisi kereta penuh, dilarang duduk di kursi prioritas bagi penyandang disabilitas, orang tua, dan ibu hamil, larangan mendengarkan musik dengan volume tinggi, hingga berdiri di depan pintu.
General Affair Asosiasi Operator Railway Swasta Jepang Ochi Masahiro menambahkan, untuk mencegah terjadinya tindakan asusila pada wanita, juga disediakan satu gerbong khusus bagi wanita pada jam sibuk.
Di samping itu, juga terdapat gerbong khusus yang menyediakan ruang bagi wanita yang bepergian bersama anak-anak mereka dengan membawa kereta bayi atau strooler.
"Di Jepang, angka kelahiran anak mengalami penurunan dan angka manula mengalami peningkatan. Oleh sebab itu, perlu antisipasi terhadap penurunan angka kelahiran tersebut dengan menciptakan lingkungan yang memudahkan bagi pengasuhan anak," kata Ochi.
Adapun bagi mereka yang hendak meninggalkan area peron menuju concourse, maka ada pembagian jalur yang jelas. Mereka yang ingin turun menuju peron dapat menggunakan anak tangga.
Sementara, bagi yang hendak menuju concourse dapat menggunakan eskalator atau anak tangga. Penggunaannya pun tidak sembarangan.
Bagi yang ingin berjalan santai, harus menggunakan sisi sebelah kiri. Sementara sisi sebalah kanan ditujukan bagi penumpang yang ingin bergerak lebih cepat.
Survei Berkala
Ochi mengatakan, setiap operator selalu melakukan survei secara berkala tentang etika berkereta baik di dalam stasiun maupun kereta. Angket tersebut berisi urutan perilaku yang dapat mengganggu pengguna.
Pada 2017, didapati urutan paling mengganggu yaitu berbicara secara berisik di dalam kereta. Diikuti cara duduk di kursi, cara membawa dan menyimpan barang, menggunakan ponsel, naik dan turun kereta hingga suara yang terdengar dari earphone.
"Angket ini bertujuan memperbaiki etika penumpang agar semua penumpang dapat menggunakan kereta dengan nyaman. Tugas kami membuat poster pengingat serta mengumumkan melalui pengeras suara kepada masyarakat agar selalu menjaga etika saat menaiki kereta," jelas Ochi.
Railway Business Act
Pemerintah Jepang, kata Ochi, telah memiliki aturan tentang bisnis perkeretaapian atau railway business act. Dari aturan tersebut, operator kereta dan pengelola stasiun membuat aturan turunan yang bertujuan memberikan kenyamanan kepada masyarakat.
Indonesia, secara khusus Jakarta, mungkin dapat belajar dari Jepang tentang etika berkereta yang baik. Sebagai percontohan, proyek Moda Raya Terpadu atau Mass Rapid Transit (MRT) dapat menjadi mercusuarnya.
Kepala Divisi Corporate Secretary PT MRT Jakarta Tubagus Hikmatullah menuturkan, ada bebeberapa infrastruktur pemecah keramaian pada jam sibuk yang akan diterapkan MRT.
Misalnya dengan memasang tanda di lantai, poster, hingga mengumumkan lewat pengeras suara.
Masyarakat akan 'dipaksa' untuk antre demi menjaga kenyamanan penumpang bersama.
"Sepertinya gitu, kan ada platform screen door, di stasiun MRT. Dengan adanya itu, penumpang sudah tahu titik harus mengantre dan menunggu penumpang yang akan keluar dari kereta. Kami juga akan menempatkan petugas, agar masyarakat bisa mengikuti apa yang bisa kami sampaikan," papar Hikmat.
Namun, berhasil atau tidaknya implementasi dari aturan tersebut juga tergantung pada kesadaran masyarakat untuk mematuhinya.
Pemerintah dan operator mungkin dapat menyiapkan segudang aturan. Akan tetapi, bila masyarakat tak bisa menerapkan budaya tertib, maka aturan yang ada pun akan sia-sia.
https://properti.kompas.com/read/2018/12/04/103742921/rahasia-tertibnya-orang-jepang-naik-kereta