JAKARTA, KOMPAS.com - Pemetaan zona rawan bencana perlu dilakukan lebih serius oleh pemerintah daerah (Pemda). Hal ini untuk menghindari jatuhnya banyak korban bila suatu saat bencana terjadi.
Gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah yang diikuti dengan fenomena likuefaksi menjadi contoh nyata bahwa pemetaan dini diperlukan untuk menghindari jatuhnya korban.
Pemda juga perlu memasukkan zona rawan bencana ke dalam rencana detail tata ruang (RDTR) agar ke depan para pemangku kepentingan tidak membangun kawasan pemukiman warga di daerah tersebut.
"Ini harus digulirkan. Karena kalau tidak, kejadian yang sama akan terjadi 40-50 tahun yang akan datang," kata Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan A Djalil di kantornya, Kamis (8/11/2018).
"Mungkin kita sudah inna lillahi wa inna ilaihi raji'un (meninggal), tapi anak cucu kita akan menyalahkan, siapa dirjennya dulu? Siapa gubernurnya? Siapa menterinya?," imbuh dia.
Sofyan menambahkan, dimasukkannya zona rawan bencana ke dalam RDTR tidak cukup bila tanpa diikuti dengan aturan tegas yang menyertainya.
Kedua hal ini harus berjalan bersamaan disertai dengan pengawasan yang ketat serta upaya penegakkan hukum yang lebih tegas kepada para pelanggar aturan.
Ia menilai, selama ini masih banyak oknum pejabat yang menyalahgunakan wewenang yang dimiliki untuk memberikan izin pembangunan di daerah yang rawan bencana.
Akibatnya, ketika bencana terjadi di wilayah tersebut, banyak masyarakat yang menjadi korban.
"Saya pikir kenapa selama ini masih banyak sekali masalah yang terjadi karena institusinya barang kali masih kurang. UU ada, pidana ada, tetapi tidak ada institusi yang mengawasi secara intensif," kata dia.
"Dengan pengalaman ini, kita tidak boleh lagi mengikuti hal yang sama di masa mendatang. Jadi pencegahan penataan ruang itu adanya di institusi kita," tutup Sofyan.
https://properti.kompas.com/read/2018/11/08/110827821/zona-daerah-bencana-harus-masuk-rdtr