Karenanya Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB Prof Iswandi menyatakan perlu adanya program refrofitting untuk bangunan-bangunan yang bertahan tapi terindikasi rawan terhadap gempa. Apalagi tingkat kegempaan demikian tinggi.
"Perlu lebih ditingkatkan lagi sosialisasi standar bangunan tahan gempa untuk wilayah tersebut," ujarnya dikutip dalam laman ITB, Jumat (26/10/2018).
Menurut Iswandi, banyaknya kerusakan bangunan akibat gempa dikarenakan inkonsistensi desain terkait ketentuan detailing, inkonsistensi kontruksi khususnya terkait bahan dan kualitas, dan penyatuan elemen-elemen non-struktural yang kaku, serta kurangnya perawatan.
Ke depannya, ia berharap kejadian tersebut dapat jadi pelajaran untuk menghadapi bencana serupa.
Standar bangunan tahan gempa sendiri sebetulnya sudah diatur oleh pemerintah melalui Kementerian PUPR. Namun di lapangan, banyak bangunan kurang memenuhi standar yang ditentukan.
Misalnya dinding dari bata yang seharusnya dilengkapi dengan kolom-kolom pengikat, agar bisa menjaga dinding tak roboh meskipun terkena guncangan.
Setelah gempa di Sulteng, lanjutnya, banyak ditemukan rumah rusak termasuk hotel-hotel yang roboh lantai dasarnya.
Hal itu mengindikasikan kekuatan dinding atau beton penyangga di lantai dasar kurang kuat, misalnya itu terjadi Hotel Mercure dan Hotel Roa-roa.
Namun beberapa bangunan lain seperti Mall masih utuh dan berdiri kokoh karena mengikuti standar yang berlaku.
"Berbagai runtuhan yang diamati yang paling banyak ditemukan, permasalahan bangunan adalah aspek detailing," cetus Iswandi.
Berdasarkan hasil survei dilapangan, banyak pula ditemukan bangunan dengan inti betonnya hancur karena tulangannya kurang, terjadi penyatuan tangga dalam sebuah bangunan, kerusakan elemen non-struktural seperti rangka atap baja ringan kurang ditopang sistem penguat sehingga mudah bengkok, dan banyak temuan lainnya.
https://properti.kompas.com/read/2018/10/26/145856521/guru-besar-itb-perlu-refrofitting-bangunan-pasca-gempa-sulteng