Dalam acara tersebut, Basuki mengatakan pentingnya meningkatkan investasi dan pendanaan untuk mengurangi risiko bencana. Hal ini sesuai dengan kesepakatan internasional Sendai Framework for Disaster Risk Reduction.
Basuki melanjutkan, sekitar 90 persen anggaran penanggulangan bencana dialokasikan untuk tahap tanggap darurat dan rehabilitasi serta rekonstruksi pasca-bencana.
Sementara anggaran untuk pencegahan dan persiapan pra-bencana masih sangat kecil, yakni sekitar 10 persen.
Selain itu, metode Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas (Rekompak) yang dilakukan pasca gempa Yogyakarta tahun 2006, juga bisa menjadi percontohan.
Metode ini menempatkan komunitas sebagai aktor utama proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Komunitas tidak hanya membangun permukimannya kembali namun juga menjadi komunitas yang kuat.
Dari sisi biaya, pembangunan hunian pasca bencana dengan metode Rekompak juga lebih hemat dibandingkan cara konvensional.
Selain itu, pendekatan ini juga bisa membangun masyarakat yang tangguh bencana untuk mengurangi risiko.
"Oleh karenanya rehabilitas dan rekonstruksi di Palu tidak hanya membangun kembali rumah yang rusak pada area terdampak," ujar Basuki melalui keterangan tertulis kepada Kompas.com, Kamis (11/10/2018).
Lebih lanjut, Basuki mengatakan, pihaknya sedang merencanakan pembangunan kembali Kota Palu yang lebih tangguh terhadap bencana.
Untuk itu, Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian PUPR bersama dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Bappenas, BMKG, dan pemerintah setempat bekerja sama dalam membuat masterplan, termasuk rencana relokasi permukiman.
"Inilah Build Back Better," sebut Basuki.
Salah satu upaya mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan membangun rumah yang memenuhi building code. Pembangunan ini, menurut Danis dapat tahan terhadap guncangan gempa.
Upaya mitigasi lainnya adalah dengan mematuhi zonasi yang telah ditetapkan, misalnya zona rawan bencana seperti sesar gempa, daerah sempadan pantai, atau daerah lereng.
"Dengan mitigasi tersebut otomatis akan mengurangi dampak kerusakan yang ditimbuulkan akibat bencana," ungkap Danis.
Jusuf Kalla memaparkan, selama ini, pembangunan aset tidak memperhitungkan asuransi. Apabila terjadi bencana semua menjadi beban APBN atau dari bantuan.
"Di Sulawesi Tengah, sekolah yang rusak diperkirakan berjumlah 2.000 unit dan 60.000 unit rumah. Tentunya memerlukan biaya yang besar. Acara ini menjadi momen tepat mencari solusi bagaimana upaya mengatasi bencana secara efektif, sementara ketahanan fiskal tetap terjaga," tutur Kalla.
Sementara Sri Mulyani menyampaikan, dengan frekuensi dan besarnya bencana yang terjadi di Indonesia, pembangunan kembali berbagai kerusakan akibat bencana, tidak bisa hanya mengandalkan APBN.
Untuk itu pihaknya telah menyusun strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana untuk mendukung terciptanya masyarakat dan pemerintah yang tangguh bencana.
"Tahun 2019, kita akan memulai mengasuransikan gedung-gedung pemerintah," ujar Sri Mulyani.
https://properti.kompas.com/read/2018/10/11/151026521/pentingnya-investasi-dan-pendanaan-mitigasi-bencana