Bagi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan likuifaksi, Abdul mengatakan, pihaknya baru memberi rekomendasi awal berupa relokasi ke tempat lain.
"Kalau untuk kasus Palu, sementara ini kami memberi rekomendasi untuk relokasi. Karena kan akan berbahaya kalau mereka tetap tinggal di situ," ujar Abdul menjawab Kompas.com, Rabu (3/10/2018).
Abdul menjelaskan, kemungkinan wilayah yang terdampak dan rawan bencana akan menjadi daerah penghijauan.
Sementara itu, untuk tanah yang berada di kawasan rawan likuifaksi, Abdul merekomendasikan untuk membatasi intensitas pemanfaatan ruang.
"Jadi sudah ada rekomendasi sementara, menghindari membangun kembali fungsi hunian (di kawasan rawan)," ucap Abdul.
Untuk lokasi, Abdul mengatakan akan dicarikan tempat yang sesuai. Dia menambahkan, di daerah tersebut terdapat tanah telantar seluas sekitar 250 hektar.
Tanah itu rencananya akan digunakan sebagai tempat relokasi korban bencana. Namun, Abdul mengaku, dia belum meninjau lokasi lahan tersebut sehingga belum dapat memastikannya.
"Di sana kebetulan ada sekitar 250 hektar tanah telantar. Mudah-mudahan bukan di lokasi likuifaksi," kata dia.
Sementara untuk teknis pemindahan dan penggantian lahan, masih dalam proses penyusunan.
"Haknya tetap ada sejauh dia bisa menentukan batas-batasnya," ujar Abdul.
Masyarakat masih akan mendapatkan haknya asalkan penggunaan lahan untuk permukiman dan perdagangan tidak dilakukan.
Meski direlokasi, masyarakat masih bisa memanfaatkan wilayah tersebut, contohnya sebagai area perkebunan maupun pertanian.
Namun, hal ini hanya berlaku di kawasan yang hanya memiliki potensi guncangan gempa.
"Hak di tempat yang lama masih berlaku. Misal dia punya di situ (lokasi likuifaksi) tanah 1.000 meter, ya pasti masih punya dia dong," jelas Abdul.
Sementara untuk kawasan yang termasuk dan terdampak bencana likuifaksi, Abdul menuturkan, harus diukur ulang karena batas setiap rumah dan bangunan berubah.
https://properti.kompas.com/read/2018/10/03/194000921/kementerian-atr-usulkan-relokasi-untuk-korban-likuifaksi