Padahal, keberadaan RDTR ini cukup penting sebagai salah satu dokumen pendukung percepatan investasi.
Setidaknya, ada beberapa hal yang menghambat proses pembahasan raperda tersebut. Mulai dari sinkronisasi persetujuan substansi, keberadaan peta pendukung, hingga ketersediaan anggaran.
Direktur Penataan Kawasan Kementerian ATR/BPN Agus Sutanto mengatakan, sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penetapan RDTR sebagai perda ini menjadi wewenang pemerintah daerah (pemda).
"Ini yang jadi tantangan kami ke depan, bagaimana kami tidak hanya membantu tetapi juga membangun kesadaran di daerah. Karena di daerah itu begitu disodorkan raperda yang sudah kami bantu susun, mereka tidak punya anggaran. DPRD-nya lebih mementingkan yang lain, misalnya," kata Agus di kantornya, Jumat (21/9/2018).
Salah satu upaya pemerintah pusat dalam membantu mempercepat pembahasan raperda RDTR yaitu dengan menyuntikkan tambahan anggaran ke daerah.
Setidaknya, untuk pembahasan setiap raperda, dibutuhkan anggaran sekitar Rp 1,8 miliar hingga Rp 2 miliar.
"Kami tempatkan di provinsi anggarannya, tapi mereka janji nanti minimal lima wilayah kabupaten/kota," kata Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian ATR/BPN Abdul Kamarzuki.
Saat ini, Kementerian ATR/BPN tengah berkomunikasi dengan Kementerian Keuangan mengenai rencana penyuntikan anggaran tersebut. Ia berharap, pada 2019 mendatang upaya ini sudah dapat terealisasi.
Untuk diketahui, dari sekitar 1.800-an raperda RDTR, yang sudah menjadi perda baru di 45 wilayah.
Adapun setiap wilayah kabupaten/kota, dapat memiliki 2-3 perda RDTR tergantung dari luas wilayah masing-masing.
https://properti.kompas.com/read/2018/09/21/211742321/pembahasan-rdtr-terganjal-3-masalah