Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian ATR/BPN Abdul Kamarzuki mengatakan, dari 1.800-an rancangan peraturan daerah tentang RDTR, yang sudah menjadi perda baru 45 RDTR. Sementara yang lainnya masih dalam proses.
"Sebetulnya 1.800 itu bukan harga mati. Ke depan nanti mungkin bisa hampir 2.500-an RDTR tergantung dari kawasannya," kata Abdul di kantornya, Jumat (21/9/2018).
Menurut dia, tidak setiap wilayah kabupaten/kota memiliki satu perda RDTR. Beberapa bahkan ada yang memiliki 2-3 perda tergantung dari luas wilayahnya.
Setiap perda RDTR mencakup sebuah kawasan seluas 3.000 hingga 5.000 hektar.
Abdul mengatakan, salah satu kesulitan dalam pembahasan raperda RTRW yaitu sinkronisasi persetujuan substansi (persub) dan masalah peta.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan di dalam persetujuan substansi mulai dari rencana pembangunan proyek strategis nasional (PSN), lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B), ruang terbuka hijau, hingga kerawanan bencana.
"Terakhir itu untuk masalah peta, kita perlu yang skala 5.000. Tapi di BIG itu hanya punya yang skala 50.000 dan 25.000 untuk yang Jawa. Nah ini yang kita upayakan agar teman-teman pakai peta yang ada dulu," papar Abdul.
Adapun kendala lain yang juga dihadapi yaitu masalah anggaran saat pembahasan. Tidak sedikit DPRD yang menganggap pembahasan raperda RDTR bukan sebagai persoalan yang penting.
Akibatnya, ketika Kementerian ATR telah membantu daerah untuk menyusun raperda RDTR, raperda yang telah disodorkan pun tidak bisa dibahas lebih lanjut.
Sementara, Kementerian ATR tidak bisa mengambil langkah lebih jauh, karena penetapan RDTR ini menjadi ranah daerah.
"DPR-nya lebih mementingkan yang lain, misalnya. Inilah kendala-kendala yang ada di daerah yang diluar kendali kontrol kita. Karena putusan ada di tangan mereka," kata Direktur Penataan Kawasan Kementerian ATR Agus Sutanto.
https://properti.kompas.com/read/2018/09/21/173650121/baru-45-rdtr-yang-sudah-jadi-raperda