JAKARTA, KOMPAS.com - Tak kurang dari 167.961 unit rumah rusak akibat gempa bumi yang mengguncang wilayah Lombok dan sekitarnya, beberapa waktu lalu.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah melakukan verifikasi sementara terhadap 107.509 unit rumah yang rusak.
Hasilnya, 32.970 unit terindikasi rusak berat, 19.967 unit rusak sedang, dan 54.572 unit rusak ringan.
Pemerintah pun berencana merehabilitasi rumah yang rusak dengan teknologi rumah instan sederhana sehat (Risha). Namun, upaya tersebut justru dikritik Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
"Soal Risha, ada kesan di lapangan bahwa uang masyarakat ditahan di rekening karena ada supplier (pemasok) Risha," kata Fahri saat memimpin rapat konsultasi tindak lanjut penanganan gempa bumi NTB di Kompleks Parlemen, Senin (10/9/2018).
Menurut Fahri, masyarakat berkeinginan untuk membangun rumah sendiri secara bersama-sama dengan menggunakan puing-puing yang ada.
Namun, ia mengaku, tak sedikit masyarakat yang belum memahami bagaimana mengaplikasikan teknologi Risha yang diklaim tahan gempa di daerah rawan gempa seperti NTB.
"Rumah yang rusak kebanyakan rumah yang dibangun dengan beton. Komposisi kapur lebih banyak dari pada semennya," ungkap Fahri.
Untuk diketahui, pemerintah berencana menyalurkan anggaran sebesar Rp 50 juta per kepala keluarga yang rumahnya mengalami rusak berat.
Sementara, rumah dengan kerusakan sedang akan mendapat bantuan sebesar Rp 25 juta dan Rp 10 juta untuk rumah rusak ringan.
Sementara itu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan telah bekerja sama dengan Kamar Dagang Indonesia (Kadin) untuk membuat 8.000 material konstruksi di lima kecamatan, yaitu Pemenang, Tanjung, Kayangan, Bayan dan Gangga.
Basuki memastikan Risha yang akan dibangun pemerintah dilaksanakan secara bergotong royong dengan melibatkan masyarakat.
Pemerintah pusat mengerahkan tim untuk mendampingi masyarakat dalam membuat kolom-kolom bangunan yang diperlukan.
"Jadi Risha itu hanya strukturnya, dindingnya bisa dari kayu, bisa dari batu-bata yang ditentukan sendiri oleh masyarakat. Metodenya rekompak, jadi dia swakelola dikerjakan sendiri oleh masyarakat," jelas Basuki.
"Dengan swakelol ini, masyarakat tidak hanya menonton tapi gotong royong mengerjakan rumahnya sendiri, sehingga akan lebih cepat dari pada dikerjakan kontraktor. Tidak ada kontraktor untuk pembangunan rumah," tegas Basuki.
https://properti.kompas.com/read/2018/09/10/160000221/fahri-hamzah-kritik-pemerintah-soal-risha-di-lombok