Pada bagian depannya, terpajang sebuah plat dengan keterangan Loji Gandrung. Bangunan ini sudah berdiri sejak zaman kolonial, yang awalnya difungsikan sebagai rumah tinggal yang lebih mirip seperti villa.
Arsitektur Indis terasa sangat kental melekat pada bangunan ini. Arsitektur ini merupakan hasil dari proses akulturasi gaya Eropa dan lokal.
Rumah lawas ini awalnya milik seorang pengusaha gula berkebangsaan Belanda bernama Johannes Augustinus Dezentje, yang dimiliki turun temurun.
Namun, kini Loji Gandrung beralih fungsi menjadi rumah dinas wali kota Surakarta. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah merasakan tinggal di sini saat menjabat wali kota pada periode 2005-2012.
Loji Gandrung memiliki dua buah teras yang cukup luas, masing-masing berada di bagian depan dan belakang rumah.
Meja dan kursi antik tertata apik melengkapi tata letak ruangan. Lampu gantung ala Eropa menggantung indah di teras belakang.
Bangunan berwarna putih gading ini menegaskan dominasi gaya Eropa dalam rancangannya. Pengaruh gaya Eropa juga terlihat dari pintu dan jendela yang berukuran besar.
Masuk ke dalam rumah, terdapat ruang tamu. Di sebelahnya terletak ruang rapat yang sering digunakan wali kota. Selain itu, Loji Gandrung juga memiliki ruang makan besar ala Eropa sebagai tempat pertemuan.
Rumah dinas ini memiliki dua kamar tidur. Satu kamar merupakan ruangan yang sering digunakan Soekarno saat singgah ke rumah ini.
Menurut Sri Mulyani, kepala rumah tangga Loji Gandrung, kamar tidur yang digunakan Soekarno jarang digunakan, dan hanya sebagai ruang peringatan. Sementara kamar lainnya difungsikan sebagai tempat tidur wali kota.
"Lantai masih asli, pilar marmer yang sempat dicat juga sudah dikelupas agar warna aslinya kelihatan," ujar Sri Mulyani menemani Kompas.com berkeliling area luar Loji Gandrung.
Di sayap kanan dan kiri terdapat dua bangunan tambahan. Bangunan di sayap kiri belakang digunakan sebagai kantor operasional kepala rumah tangga Loji Gandrung. Di depannya terdapat kamar mandi khusus untuk tamu.
Hawa segar terasa saat berjalan menuju ke bagian belakang rumah. Pada bagian ini terdapat taman yang dihiasi dua buah patung Dwarapala.
Pada bagian belakang gedung berdiri megah sebuah pendopo. Menurut Sri Mulyani, bangunan pendopo sering digunakan masyarakat untuk berbagai keperluan.
"Pendopo ini bangunan baru, bedanya dulu saat era Pak Jokowi cuma punya dua anak tangga. Saat ini pendopo ditinggikan, anak tangganya sekarang ada tujuh," ungkap Sri Mulyani.
Salah satu ciri arsitektur ini adalah adanya menara semu dan kolom yang menggunakan gaya greco-roman.
Pilar-pilar yang digunakan juga mengadopsi gaya greco-roman dengan dominasi warna hijau. Pilar ini berbentuk bulat dengan ragam ornamen di bagian bawah dan atas.
Menurut Titis Srimuda Pitana, dosen jurusan arsitektur Universitas Sebelas Maret sekaligus pemerhati bangunan cagar budaya mengatakan, ragam hias pada pilar merupakan perpaduan gaya Eropa dan Jawa.
Titis melanjutkan, ragam hias yang ada menggunakan motif lokal seperti pola tanaman dan burung. Ada pula motif semian yang identik dengan berbagai gambar sulur Jawa.
Ciri khas lainnya adalah pengunaan menara semu pada bagian atap. Selain itu, adanya jendela kecil pada bagian atap dan mahkota di bagian depan juga menyesuaikan pada kearifan lokal.
"Ciri arsitektur tropis kena, atap besar untuk mengantisipasi curah hujan tinggi. Penggunaan ruang dengan karakter besar antara floor to ceiling cukup tinggi, ini mengadopsi dari Eropa," ungkap laki-laki yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Ahli Cagar Budaya ini.
Titis mengungkapkan, bahan bangunan yang digunakan sebagian besar didatangkan dari Eropa. Bahkan besi tempanya dipesan khusus dari Jerman.
Hingga kini desain bangunan inti masih dipertahankan. Perbaikan kerusakan selalu dilakukan sesuai dengan kaidah penanganan objek cagar budaya.
Menurut Titis, Loji Gandrung merupakan karya arsitek Belanda, C.P. Wolff Schoemaker yang banyak merancang bangunan ikonik di beberapa kota, khususnya Bandung.
Titis menambahkan, kecerdasan arsitektur karya Schomemaker juga terlihat dalam rancangan Loji Gandrung.
Dia mampu memadukan gaya arsitektur ala Eropa dan gaya lokal dengan apik. Titis menambahkan, kecerdasan Schoemaker dalam menggabungkan gaya arsitektur ibarat bahasa.
Schoemaker cakap memadukan bahasa yang datang dari Eropa dengan bahasa lokal,sehingga tercipta paduan arsitektur yang harmonis.
Di Loji Gandrung, arsitek kenamaan Belanda ini juga memasukkan ciri India ke dalam desain bangunan.
Dia mengungkapkan, arsitektur India pada rumah ini terletak pada lengkungan di bagian atas antar pilar. Lengkungan ini umum ditemukan di Taj Mahal.
"Di Loji Gandrung, ciri India masuk, Eropa masuk. Jadi tempat-tempat yang pernah dikunjungi Schoemaker itu masuk ke dalam memori ingatan, dan sebagai momen estetika yang dia rekam kemudian dia tuangkan lagi dalam bangunan itu," ungkap dia.
Layaknya karya Schoemaker lainnya, Loji Gandrung juga memiliki bentuk simeteris. Bagian muka dan belakang rumah terlihat sama persis dan serasi.
Saat ini upaya konservasi bangunan cagar budaya di Kota Solo sedang digalakkan, tak terkecuali dengan Loji Gandrung.
Beberapa penambahan dan renovasi bangunan harus melalui prosedur kajian arkeologis, sebelum bisa dieksekusi.
Ketika Kompas.com mengunjungi tempat ini pada Rabu, (29/8/2018), sedang dilakukan renovasi pada bagian pelataran depan rumah.
Menurut Sri Mulyani, renovasi ini dilakukan untuk meratakan pelataran Loji Gandrung. Pagar dan pembatas disingkirkan agar rumah ini menjadi area publik.
Senada dengan Sri Mulyani, Titis menambahkan, upaya ini merupakan bagian untuk membuat masyarakat Kota Solo ikut merasa memiliki Loji Gandrung.
"Anggap saja sebagai suatu museum kota, supaya masyarakat Solo merasa memiliki sebagai bangunan cagar budaya," pungkas Titis.
https://properti.kompas.com/read/2018/08/30/102249621/menikmati-loji-gandrung-sepeninggal-jokowi