JAKARTA, KOMPAS.com - Konflik antara pengembang properti dan konsumen terus bermunculan, dan terjadi hampir setiap tahun. Kasus terbaru yaitu antara PT Prioritas Land Indonesia (PLI) dan konsumen K2 Park.
Para konsumen menuntut agar PLI mengembalikan uang yang sudah dibayar karena pengembang tak kunjung menyelesaikan proyek yang ditawarkan.
Padahal, proyek tersebut sudah ditawarkan sejak 2014. Sementara, di dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), serah terima kunci seharusnya dilaksanakan pada Desember 2018.
Kenyataannya, hingga kini lahan yang semestinya digunakan untuk pembangunan proyek, masih berbentuk hamparan kosong.
Pertikaian antara PLI dan konsumen K2 Park yang berlokasi di Serpong, Banten, menambah panjang sengketa properti.
Menurut data YLKI sengketa properti yang melibatkan pengembang dan konsumen ada 60 kasus aduan selama 2017 dari total 642 aduan.
Klasifikasinya terkait refund 17 aduan, keterlambatan serah terima 10 aduan, dokumen dan kualitas bangunan masing-masing 7 aduan.
Berikut beberapa kasus yang melibatkan pengembang properti dan konsumennya:
1. M-Icon Yogyakarta
Kasus ini mencuat pada 2016 lalu. Para pembeli apartemen M-Icon di Sleman, Yogyakarta, mendatangi dan menyegel kantor pemasaran yang berada di Wisma Hartono, Yogyakarta.
Mereka kesal lantaran unit apartemen yang dijanjikan PT Majestic Land, selaku pengembang, tak kunjung serah terima kunci. Padahal, tak sedikit dari mereka telah melunasi kewajiban cicilannya.
Majestic Land didirikan pada 2011 oleh Wisnu Tri Anggoro. Pengembang ini mengklaim telah membangun beberapa proyek properti yang tersebar di beberapa kota besar, seperti Yogyakarta, Bandung, Surabaya, dan Bali.
Proyek tersebut di antaranya Best Western Setiabudi di Bandung, M Square di Surabaya, Perumahan Nyaman Sendangsari, Best Western Majestic Yogyakarta, Majestic Residence Banguntapan, M Icon di Yogyakarta, dan Royal Kamuela Majestic di Ubud.
Dari ketujuh proyek tersebut hanya Best Western Setiabudi dan M Icon yang memiliki situs resmi untuk mengetahui lebih jauh tentang progres konstruksinya. Sementara sisanya nihil, tidak ada informasi apapun terkait pembangunan atau progres proyeknya.
2. Kemanggisan Residence
Pada 2012, PT Mitra Safir Sejahtera (MSS), pengembang rusunami Kemanggisan Residence dipailitkan pengadilan karena tidak mampu menjamin keberlanjutan pembangunan dan mencari investor.
Imbas kepailitan ini, MSS diwajibkan mengembalikan uang yang telah disetorkan pembeli. Namun ketika proses hukum masih berjalan, rusun yang telah dimiliki pembeli sebelumnya dijual kembali oleh pengembang baru PT Berlian Makmur Properti.
Pada 2014, paguyuban penghuni meminta agar MSS mengembalikan uang yang telah disetorkan secara penuh.
Pasalnya, mereka merasa tidak diperlakukan adil lantaran hanya mendapat 15 persen dari nilai pembelian. Sementara, konsumen memberi kontribusi paling besar kepada pundi-pundi MSS.
Sementara itu, Bank Mutiara sebagai kreditor yang memberikan kredit kontruksi hanya memberikan Rp 63,5 miliar kepada MSS dan perusahaan jasa konstruksi memberikan jasa senilai Rp 32 miliar. Namun, semua mitra itu dibayar secara penuh oleh MSS.
3. Green Pramuka City
Kasus ini bermula saat komika Muhadkly MT alias Acho dilaporkan pengembang apartemen Green Pramuka City, PT Duta Paramindo Sejahtera, lantarannya kritikannya.
Lewat blognya, muhadkly.com, Acho mengkritik empat hal atas apartemen yang dibelinya pada Februari 2013 silam.
Pertama soal sertifikat yang tak kunjung diterima olehnya dan para penghuni lainnya. Padahal, pengelola menjanjikan sertifikat akan diberikan setelah dua tahun oleh para penghuni tower apartemen pertama.
Kedua, Acho mengkritik sistem perparkiran di Apartemen Green Pramuka City. Dalam blognya, Acho menuliskan bahwa dia dan penghuni apartemen lainnya dibebankan tarif parkir mobil hingga Rp 200.000 per bulan.
"Namun, sebagai member kita hanya boleh parkir di basement 2, jika berani parkir di area lainnya, maka akan dikenakan lagi biaya parkir regular yang perjamnya Rp 3.000 pada jam tertentu," tulis Acho dalam blognya seperti dikutip Kompas.com, Minggu (6/8/2017).
Ketiga, Acho menulis tentang iuran pengelolaan lingkungan (IPL). Ketika tulisan itu dirilis atau pada Maret 2015, pihak pengelola Green Pramuka City menaikkan biaya IPL hingga 43 persen menjadi Rp 14.850 per meter persegi dari sebelumnya Rp 9.500 per meter persegi.
Itu artinya, Acho mesti membayarkan biaya IPL sebesar Rp 490.050 per bulan.
"Luar biasa, padahal fasilitasnya standard aja. Saat tulisan ini dibuat, belum ada fasilitas istimewa seperti sauna, tempat gym, lapangan tennis, golf dll, silakan buktikan sendiri," tulisnya.
https://properti.kompas.com/read/2018/08/29/170000721/rentetan-konflik-yang-melibatkan-pengembang-dan-konsumen