Mereka meminta PLI mengembalikan uang yang sudah dibayar untuk membeli unit-unit apartemen itu.
Menanggapi hal itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan konsumen yang merasa dirugikan bisa melaporkan masalah ini kepada pihak berwenang.
“Konsumen bisa melapor ke regulator, siapa yang memberi izin. Kalau perlu melapor kepada aparat kepolisian,” ujar Tulus Abadi saat dihubungi Kompas.com, Minggu (26/8/2018).
Selain itu, kata dia, konsumen juga berhak mendapatkan kompensasi atau ganti rugi sesuai dengan perjanjian kontrak jual beli yang disepakati bersama.
Sebab, ucapnya, dalam perjanjian jual beli seharusnya ditentukan waktu pembangunan dan penyelesaian proyek itu. Jika tidak selesai sesuai waktu yang ditentukan, berarti pengembang melakukan pelanggaran.
“Transaksi jual beli sudah ditentukan sesuai jadwal. Sesuai perjanjian harusnya tidak molor. Kalau pengembang ingkar janji itu artinya melanggar,” ungkap Tulus.
Menurut dia, masalah seperti ini bisa dikategorikan penipuan karena dua hal. Pertama, karena hingga saat ini wujud bangunan itu belum ada.
“Secara kasatmata soal bangunan. Si pengembang bisa dianggap menipu karena sesuatu yang belum ada wujudnya, cuma jual dokumen,” imbuhnya.
Tulus mengatakan, seharusnya paling tidak ada unit atau bangunan yang dijadikan contoh dan sudah berizin resmi dari pemerintah.
Di samping itu, sesuai Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) akan dilakukan serah terima kunci pada Desember 2018, kalaupun ada keterlambatan, paling tidak tinggal tahap penyelesaian bangunan.
“Minimal ada unit contoh yang sudah ada. Izin jelas. Saya kira janjinya belum jelas. PPJB 2018 kalaupun terlambat minimal sudah finishing. Ini barangnya belum ada,” lanjutnya.
Hal kedua, menurut Tulus, mengenai perjanjian jual beli antara konsumen dan pengembang. Seharusnya konsumen berhati-hati dalam membeli suatu barang, dalam hal ini apartemen, jika belum dibangun.
Sebab, bisa berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari, apalagi jika konsumen sudah melakukan transaksi dengan membayar tunai dalam jumlah besar.
“Soal kontrak jual beli, itu kesalahan konsumen juga. Jangan beli cash kalau barang atau rumah belum ada, risiko sangat tinggi,” tuturnya.
Seharusnya risiko diminimalisasi, tambahnya, yaitu berupa keterlambatan penyelesaian konstruksi. Namun, jika sampai saat ini belum dibangun itu merupakan risiko yang fatal.
Untuk menyelesaikan masalah ini, ujar Tulus, pengembang harus melakukan koordinasi dengan lembaga pemerintah yang berwenang, baik tingkat pusat maupun daerah, untuk meyakinkan tidak terjadinya pengunduran penyelesaian proyek itu.
PLI sendiri melalui Presiden Direktur-nya Marcellus Chandra menampik telah melakukan penipuan. Pasalnya, PLI masih berkantor di tempat yang sama yakni kawasan Gading Serpong.
Selain itu, kata Marcellus, PLI juga serius meneruskan pembangunan K2 Park yang sempat tertunda akibat krisis keuangan.
“Beberapa waktu lalu kami sudah sepakat dengan investor China. Sekarang final deal, tinggal tanda tangan jual beli saham,” ucap Marcellus.
Dia mengatakan, proses kerja sama dengan investor tersebut sudah berlangsung sejak awal tahun 2018 hingga akhirnya terjadi kesepakatan investasi Rp 200 miliar.
https://properti.kompas.com/read/2018/08/26/193419221/ylki-pengembang-k2-park-bisa-dianggap-menipu