JAKARTA, KOMPAS.com - Fenomena properti syariah yang kian gencar muncul di Tanah Air, dikhawatirkan menimbulkan eksklusivitas dari kelompok agama tertentu.
Padahal, Indonesia merupakan negara majemuk yang multi etnis dan multi agama.
"Bisa jadi fenomena ini kurang positif dari sisi sosiologis, karena bisa menciptakan lingkungan yang eksklusif, tidak mencerminkan realitas masyarakat yang majemuk," kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi kepada Kompas.com, beberapa waktu lalu.
Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah. Sebab, pengembang properti syariah biasanya menyasar kelompok masyarakat muslim yang khawatir dengan jerat riba saat melakukan transaksi jual beli melalui perbankan.
Namun, secara umum pengembang properti syariah juga cukup terbuka dalam menyasar kelompok non-muslim yang tertarik dengan skema pembiayaan syariah.
"Banyak juga teman-teman non muslim yang tertarik, (bahkan) sebagai pengembangnya," kata Founder Developer Properti Syariah (DPS) Rosyid Aziz.
Dalam sebuah proyek, ia menambahkan, biasanya ada pula penghuni dari kalangan non muslim. Meski demikian jumlahnya tidak cukup banyak.
"Paling dalam satu komplek dari 50 unit itu paling hanya 1-2 saja. Karena memang sasaran kami ini adalah teman-teman muslim yang tahu bahwa skema perbankan itu ada ketidakbolehan," tutur Rosyid.
Bagi kalangan non muslim yang ingin membeli properti syariah, Rosyid mengatakan, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Misalnya, tidak boleh memelihara anjing di dalam rumah.
"Ini kami persyaratkan, karena ini kan lingkungan yang hampir semua mulsim. Jadi kami buat persyaratan yang kira-kira tidak membuat mereka tersinggung," tutup dia.
https://properti.kompas.com/read/2018/08/20/110000221/properti-syariah-bisa-memicu-eksklusivitas