Untuk itu pembangunan di daerah rawan seperti Lombok, perlu mematuhi standar bangunan tahan gempa.
Kondisi wilayah Lombok
Pulau Lombok dianggap sebagai salah satu bagian seismik paling aktif di Indonesia. Menurut Didi S. Agustawaijaya, ahli geologi dan dosen Universitas Mataram, menyebutkan, wilayah Lombok diapit oleh dua sumber gempa yakni di bagian utara dan selatan pulau.
Di bagian selatan ada subduction mega-thrust, kemudian di utara ada back arc-thrust atau sesar naik busur belakang. Busur belakang inilah yang jaraknya paling dekat dengan Lombok.
Bahkan guncangan yang terasa sangat kuat karena pusat gempa berada dekat dan dangkal, sehingga menyebabkan kerusakan besar.
“Biasanya periodenya lima tahunan yang besar. Sehingga ketika ada rentetan gempa ya itu konsekuensi dari sebuah kondisi tektonik di Pulau Lombok yang rawan gempa,” tutur Didi.
Data gempa juga menunjukkan, setidaknya ada 309 gempa bumi yang terjadi di sekitar Pulau Lombok selama tahun 1973 hingga 2017.
Selain itu, secara geologi, di Lombok juga ada daerah gunung berapi yaitu Gunung Rinjani. Batuannya terdiri dari batuan berumur relatif muda. Batuan ini belum kompak sehingga mudah lepas.
Karena wilayahnya yang rawan, bangunan khususnya rumah harus mengikuti standar yang ada. Didi mengatakan, Kementerian PUPR sebenarnya sudah memiliki pedoman khusus yang mengatur pembangunan rumah sesuai standar.
Menurut arsitek Sumantri Yuli Prastowo, rumah penduduk sebaiknya menggunakan tumpuan sendi.
“Rata-rata bangunan penduduk, kalau terkait gempa, maka bangunan yang paling aman adalah bangunan struktur sendi,” tutur Sumantri.
Menurut Sumantri, struktur bangunan dibedakan menjadi tiga. Pertama adalah struktur atau tumpuan jepit. Tumpuan ini sering digunakan dalam bangunan beton.
Kedua adalah tumpuan sendi. Tumpuan ini mampu menahan gaya vertikal dan horizontal, sehingga cocok digunakan untuk bangunan di daerah rawan gempa.
Tumpuan sendi juga digunakan dalam konstruksi rumah tradisional. Terakhir adalah tumpuan rol yang biasanya ditemukan dalam konstruksi jembatan atau jalan raya.
“Bangunan di daerah rata-rata rumah pakai gedek, bambu, kayu. Kalau ada gempa relatif lebih aman. Sekarang ini banyak yang memakai batu bata atau batako yang rawan terhadap gempa,” kata Sumantri.
Dia mengemukakan, banyak rumah penduduk roboh karena rata-rata bangunan terbuat dari batu bata, yang menyebabkan antar dinding dan tiang tidak terikat.
Penggunaan material juga harus sesuai standar. Seperti besi penopang dan campuran semen yang digunakan.
Atap rumah juga turut menjadi perhatian. Menurut pengamatan Sumantri, atap bangunan penduduk di Lombok banyak menggunakan rangka baja ringan, yang justru rawan saat terjadi gempa.
“Baja ringan tidak aman karena lentur dan tipis. Jadi kalau digoyang dia lepas. Bangunan banyak yang roboh karena rata-rata pakai baja ringan,” kata Sumantri.
Wilayah Lombok sebenarnya sama dengan daerah lain, hanya saja kontur tanah di daerah Lombok Tengah sedikit berbeda. Menurut Sumantri, wilayah Lombok Tengah memiliki kontur tanah liat.
Artinya, struktur tanah di Lombok Tengah relatif lebih rawan daripada kabupaten dan kota yang lain.
Khusus untuk wilayah ini, biaya pembangunan rumah aman gempa memang lebih mahal. Bahkan bangunan paling sederhana harus menggunakan konstruksi plat beton, seperti cakar ayam atau foot plat.
“Contoh untuk bangunan tingkat dua lantai, cukup menggunakan fondasi foot plat 1,5 x 1,5, misalnya. Tapi kalau di Lombok Tengah tidak bisa, jadi harus 2,5 x 2,5,” tutur pria yang pernah menjabat sebagai ketua Ikatan Arsitek Indonesia provinsi Nusa Tenggara Barat ini.
Dia berpendapat, ada dua pilihan jika masyarakat ingin membangun rumah aman. Pertama adalah membangun rumah sesuai standar tahan gempa atau rumah dari bahan alami seperti kayu dan bambu.
Sama seperti di daerah lain, rumah tradisional Lombok terbuat dari bambu serta kayu yang menggunakan tumpuan sendi.
Tiang dan balok di rumah adat biasanya memakai ikatan tali atau menggunakan sambungan antar kayu. Artinya, rumah tradisional khususnya di Lombok sebenarnya bisa bergerak mengikuti gempa.
“Jadi kalau gempa masih bisa ngikut, bisa goyang. Dia (rumah tradisional) tidak akan roboh karena mengikuti gempa,” tutur dia.
Selain tumpuan bangunan, penggunaan paku juga memengaruhi kekuatan bangunan terhadap gempa.
Pemakaian paku sebagai penyambung antar kayu justru malah mengubah tumpuannya sendi jepit. Struktur ini bersifat kaku, dan membuat bangunan tidak kuat hingga patah saat menghadapi guncangan.
Senada dengan Sumantri, Iman Satyarno, dosen dari Departemen teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada mengungkapkan hal serupa.
Menurutnya, dari sisi konsep, faktor keamanan rumah tradisional dalam menghadapi gempa memang sudah dipikirkan.
Material yang digunakan pun merupakan bahan ringan dan alami, seperti kayu, papan, atau anyaman bambu.
Namun menurut Iman, keamanan rumah tradisional terhadap gempa belum dikaji secara akademis.
Sumantri mengatakan, perubahan gaya hidup masyakarat juga menjadi penyumbang banyaknya kerusakan yang ditimbulkan.
Perubahan tersebut, lanjut dia, melingkupi penggunaan material pada bangunan. Bangunan masyarakat Lombok yang awalnya hanya terbuat dari kayu dan bambu, berubah menjadi bangunan beton.
Sumantri menambahkan, pandangan masyarakat mengenai rumah bata memang sulit diubah.
“Masyarakat belum tentu mau, mereka ingin kelihatan lebih moderen, makanya perlu sosialisasi,” cetus dia.
Selain itu, masalah biaya juga menjadi faktor penting keengganan masyarakat membangun rumah standar tahan gempa.
Material rumah aman gempa memang membutuhkan bahan baku yang lebih mahal, seperti penggunaan tiang besi berdiameter besar dan semen dengan kualitas terbaik. Masalah ini umumnya terjadi di daerah-daerah terpencil.
Padahal jika faktor ini menjadi masalah utama, biaya pembangunan rumah tradisional justru lebih murah bila dibandingkan dengan pembangunan rumah tahan gempa.
Untuk itu, jika masyarakat masih ingn menggunakan bata sebagai tambahan, Sumantri menyarankan agar menggunakan kombinasi model rumah.
“Kalau mau ada bata tambahan, satu meter saja di bagian bawah, di atasnya baru kayu. Jadi kombinasi seperti itu. Tapi apakah mau, kembali ke masyarakat lagi,” tutup Sumantri.
https://properti.kompas.com/read/2018/08/11/170000621/lombok-rawan-gempa-bagaimana-rumah-sebaiknya-dibangun