Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Melihat Kembali Rumah Tradisional Ramah Alam dan Relatif Tahan Gempa

Untuk itu diperlukan rancangan rumah yang aman dari guncangan gempa, salah satunya adalah rumah tradisional.

Menurut dosen Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada Iman Satyarno, rumah tradisional di Indonesia kemungkinan memang sudah dirancang untuk menghadapi gempa.

“Kalau boleh dibuat catatan, rumah tradisional kebanyakan dari bahan alami, seperti kayu bambu lebih kuat. Bisa bertahan lama kalau tidak lapuk,” kata Iman kepada Kompas.com, Selasa (7/8/2018).

Menurut pengamatannya banyak rumah tradisional yang masih bertahan setelah gempa. Iman menambahkan pada saat gempa Bengkulu pada tahun 2000 dan 2007, banyak rumah yang terbuat dari beton roboh. Sedangkan rumah-rumah tradisional Bengkulu masih bertahan.

“Di Lombok juga punya rumah khusus. Sebenarnya bisa dilihat saat gempa ada kerusakan tidak pada rumah asli Lombok,” ujar Iman.

Belum ada kajian

Meski sudah ada beberapa bukti mengenai kekuatan rumah tradisional, namun Iman mengatakan belum ada kajian secara akademis mengenai kekuatan rumah adat.

“Pertanyaan agak sulit dijawab, keberadaannya sudah ada sejak lama. Jadi untuk kajian yang lebih akademik mestinya harus dibuktikan dengan hitungan, Saya tidak bisa mengatakan bangunan tradisional aman atau tidak,” ucap Iman.

Namun jika ditilik dari sisi konsep, faktor keamanan terhadap gempa memang sudah dipikirkan. Material yang digunakan pun merupakan bahan ringan dan alami, seperti kayu, papan, atau anyaman bambu (gedek).

"Dari sisi konsep kelihatannya sudah memikirkan. Di Nias ada balok miring yang sangat besar. Di Jawa ada umpak sebagai tumpuan rumah mengurangi akibat gempa," tutur Iman.

Dia menambahkan rumah masyarakat sebenarnya bukan terbuat dari tembok, sehingga ketika terkena guncangan gempa, maka gaya yang diterima sangat kecil.

Tak hanya material bangunan saja yang menjadi persoalan. Kualitas mutu bangunan juga menentukan apakah rumah tersebut aman dari gempa.

Banyak masyarakat yang masih mengesampingkan kualitas bahan dan campuran beton yang digunakan. Hal ini semakin memperparah dampak akibat gempa yang terjadi.

Banyaknya rumah yang roboh saat gempa mengindikasikan kurangnya sosialisasi dan pengetahuan mengenai rumah yang aman terhadap gempa.

Selain itu ada faktor lain yang menyebabkan banyaknya bangunan runtuh, yakni perubahan material bangunan rumah tradisional.

Meski rumah penduduk dewasa ini sudah menggunakan beton, namun desain utama masih menggunakan rancangan rumah tradisional. Padahal, rumah tradisional memang dirancang untuk menahan beban yang ringan.

“Dari beberapa gempa di Yogya tahun 2006, Tasik 2007, Bengkulu 2007, dan di Padang 2009 hampir semua bentuknya malah rumah tembok. Karena bangunannya berat dan waktu membangun tidak memperhatikan detail desainnya, maka banyak yang roboh” ucap Iman.

Iman memberikan contoh kejadian saat gempa Yogyakarta pada tahun 2006. Banyak rumah warga yang masih menggunakan desain rumah tradisional, namun dinding yang seharusnya terbuat dari papan atau anyaman bambu diganti dengan material lain seperti semen atau bata.

“Rumah tradisional seperti rumah Joglo itu gedeknya dicopot kemudian diganti dengan bata, banyak yang runtuh karena strukturnya tidak cocok,” ungkap Iman.

Menurut dia, konstruksi kayu pada rumah Joglo memang difungsikan untuk material ringan seperti anyaman bambu. Sehingga ketika material tersebut dicopot dan diganti dengan beton atau bata, maka kayu yang ada tidak dapat menahan guncangan ketika gempa.

“Seperti gedek digoyang sepeti apapun tidak akan runtuh, berbeda dengan bata. Kalau bata digoyang sedikit saja mudah patah,” tambah dia.

Selain kayu, ada material bambu juga bisa digunakan. Bahkan Iman mengatakan bahan bambu yang baik jika diuji tarik kekuatannya bisa mendekati kekuatan baja.

https://properti.kompas.com/read/2018/08/08/113349321/melihat-kembali-rumah-tradisional-ramah-alam-dan-relatif-tahan-gempa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke