Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jakarta, Belajarlah Mewarnai Kota ke Curitiba

Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Ahmad Djuhara mengatakan, dibutuhkan proses panjang dan peran serta ahli dalam merancang perubahan wajah kota. Terlebih, perubahan ini dilakukan dalam rangka menyambut Asian Games 2018.

Proses itu mulai dari perencanaan, sayembara, penentuan desain, hingga pada akhirnya eksekusi. Sebab, bukan wajah kumuh ala dekorasi sederhana yang diharapkan untuk ditampilkan kepada para tamu negara yang terdiri atas atlet, offisial, pendukung hingga awak media yang dipastikan juga akan mengekspos wajah DKI.

"Tidak semudah itu mengecat kota. Beberapa kota mungkin mengambil contoh dalam mengecat kampung sebagai cara yang paling cepat. Bisa dihargai, tapi dalam kaidah desain itu adalah cara yang paling gampang (dan seakan) tidak dipikirkan lagi," kata Djuhara kepada Kompas.com, Senin (30/7/2018).

Beberapa waktu terakhir, wajah Jakarta sempat berubah. Sejumlah separator jalan dicat warna-warni bak pelangi, mengikuti logo Asian Games 2018 yang akan digelar di Jakarta dan Palembang.

Akan tetapi, pengecatan ini menuai polemik. Ada yang mendukung. Namun, tak sedikit pula yang menyayangkan bahkan menganggap Jakarta semakin amburadul.

"Tampak sekali ketika orang banyak penolakan ya. Itu sangat tidak membuat nyaman sebetulnya. Apalagi kalau dikaitkan (dengan simbol) LGBT (lesbi, gay, biseksual, transgender) nih kota," kata Djuhara.

Belakangan, separator jalan yang telah dicat sebelumnya, mulai dikembalikan ke warna aslinya. Kondisi tersebut seperti terlihat di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur.

Menurut Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup DKI Yusmada Faizal, pewarnaan separator jalan perlu mengacu standar universal.

Arsitek senior Bambang Eryudhawan mengatakan, tidak semestinya infrastruktur publik seperti jalan dan alat pelengkapnya dicat bak pelangi.

Alasannya, pertama, ada kaidah standar pewarnaan yang tentu telah diatur, baik di dalam Undang-Undang tentang Jalan maupun Peraturan Menteri Perhubungan.

Kedua, tidak setiap tempat membutuhkan penguatan karakter dengan pewarnaan. Apalagi, euphoria Asian Games hanya bersifat sementara, sehingga perlu dipertimbangkan bagaimana cara mudah mengembalikan kondsisi infrastruktur ke keadaan semula.

Meski demikian, memang ada sejumlah tempat yang memerlukan penguatan karakter, misalnya, taman.

"Oh di taman ada bangku-bangku, mungkin bangkunya ingin diwarnai untuk menyambut Asian Games oke juga. Tapi, kalau kemudian masuk ke infrastruktur kota yang sifatnya lebih permanen, apalagi jalan negara seperti Sudirman, harus lebih berhati-hati ya," tutur Yudha.

Dinding bangunan yang terletak di ibu kota negara bagian Paraná, Brazil itu berhasil disulap dengan gaya street art yang khas, sehingga mampu membius turis untuk mengabadikannya.

Seorang travel writer bernama Monique Bianchi, lewat tulisannya yang dilansir di laman Mejogueinomundo.com, mengisahkan, bagaimana pintu masuk Galeri Julio Moreira di Largo da Ordem dilukis dengan indah.

"Dari sana saya belajar bahwa karya seni itu merupakan penghormatan untuk memperingati Hari Leminski," tulis Bianchi.

Tak jauh dari awal, tepatnya di Rua São Francisco yang merupakan kawasan bersejarah kota ini, hal yang sama juga dilakukan.

"Daerah itu dekaden (mengalami kemunduran) karena (tingginya angka) konsumsi obat-obatan di tempat itu, sehingga Asosiasi dalam kemitraan dengan Balai Kota mulai menyusun aksi grafiti yang dieksekusi oleh produser seni Mucha Tinta," ungkap Bianchi.

"Beberapa seniman diundang untuk mengilustrasikan di pintu perdagangan gambar mereka, menggunakan sebagai inspirasi tema Kenangan dan Cerita Curitiba," imbuh dia.

Salah langkah, dekorasi ala Pemprov DKI justru akan membuat wajah Jakarta terlihat lebih kumuh dan tidak beraturan.

Oleh karena itu, dibutuhkan perencanaan yang matang agar perubahan wajah Jakarta lebih teratur dan bermakna.

https://properti.kompas.com/read/2018/08/01/200848821/jakarta-belajarlah-mewarnai-kota-ke-curitiba

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke