Sebut saja, penataan trotoar di kawasan Jalan Sudirman-Thamrin yang tak kunjung selesai, serta rusaknya Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kalijodo karena minim perawatan.
Belum lagi persoalan bau serta hitamnya Kali Sentiong atau yang lebih dikenal sebagai Kali Item, yang mengalir di samping Wisma Atlet Kemayoran.
Padahal, Jakarta merupakan ibu kota, sekaligus etalase Negara Indonesia. Seluruh mata bangsa-bangsa Asia memandang Jakarta selama dua pekan penyelenggaraan perhelatan olahraga akbar ini yang dimulai pada 18 Agustus mendatang.
Kompas.com mencoba mengurai permasalahan Metropolitan Jakarta dari berbagai sudut pandang, arsitektur, desain perkotaan, penataan ruang dan wilayah, dan sosial ekonomi, berikut solusinya.
Artikel ini merupakan bagian kelima dari liputan khusus Jakarta Menantang Zaman. Bagian pertama Anda bisa membuka tautan ini, artikel kedua ada di sini, tulisan ketiga bisa Anda lihat pada tautan berikut ini, dan artikel keempat bisa dilihat di sini.
Hunian
Tak hanya banjir, pemilikan hunian juga menjadi persoalan pelik yang tak kunjung terselesaikan.
Tingginya angka tersebut lantaran jumlah lahan di Jakarta kian terbatas yang memicu harga rumah makin tak terkendali.
Akibatnya, banyak masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak memiliki kemampuan memiliki rumah di tengah kota. Padahal ruang lingkup kerja mereka ada di sana.
Salah satu upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengatasi hal ini adalah dengan membangun banyak rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Namun, rusunawa juga mulai bergeser ke daerah pinggiran lantaran harga lahan yang semakin mahal.
"Akhirnya jarang bisa bikin rusun di tengah kota, ada paling 1-2, itu pun lahan negara seperti di Jatinegara," kata arsitek dari Studio Akanoma, Yu Sing, saat berbincang dengan Kompas.com, Selasa (24/7/2018)
Mau tidak mau, masyarakat pada akhirnya terpaksa 'manut' dengan solusi yang ditawarkan Pemprov DKI.
Namun di sinilah segala persoalan bermula. Sama halnya seperti sebuah apartemen, bangunan permukiman juga memerlukan pemeliharaan.
Biaya pemeliharaan ini tidak bisa diserahkan kepada penghuni yang mayoritas MBR. Sebab, untuk membayar sewa saja, biayanya sudah cukup tinggi. Akhirnya, pemerintah memberikan subsidi dalam jumlah yang cukup besar setiap tahunnya.
"Kalau biaya perawatan tidak disubsidi hancur itu rusun. Belum listriknya, kebersihannya gimana?" cetus Yu Sing.
Sebagai ilustrasi, saat Basuki Tjahja Purnama menjabat gubernur, Pemprov DKI Jakarta mengalokasikan anggaran Rp 2,1 juta untuk menyubsidi Rusunawa Tambora per unit per bulan.
Subsidi itu belum termasuk biaya pembangunan rusunawa yang bisa mencapai Rp 100 juta-200 juta untuk setiap unit ukuran 25-30 meter persegi.
"Sudah subsidi, warga rusun masih mengeluh 'ini bocor kok enggak diperbaiki? Padahal sudah berbulan-bulan' artinya perawatan gedung masih masalah. Atau sudah disubsidi, tunggakan sewa rusun Rp 35 miliar. Macam-macam alasannya, ada yang nggak mau bayar, ada yang nggak bisa bayar," papar Yu Sing.
Yu Sing berpandangan, ketimbang menambah rusunawa lebih baik Pemprov DKI Jakarta merevitalisasi kampung-kampung yang ada di tengah kota.
Misalnya, dengan membangun rumah mikro bertingkat dengan menggunakan anggaran pembangunan dan subsidi rusunawa.
Namun sebelumnya, pemerintah perlu memberikan pengertian kepada masyarakat agar bersedia diajak kerja sama dalam mewujudkan hal ini.
"Karena, beda dengan kampung, rusun itu tidak menyediakan hunian. Kampung itu ruang hidup. Ruang hidup itu bukan hanya tempat tinggal, tempat tidur, dia juga menjadi tempat bekerja, bersosialisai, dan sebagainya, jadi hidup lah," tutup Yu Sing.
https://properti.kompas.com/read/2018/07/25/131356421/rusunawa-solusi-atau-masalah-baru-bagi-jakarta