Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hikayat Betonisasi, dan Paradigma Mengeringkan Jakarta

Sebut saja, penataan trotoar di kawasan Jalan Sudirman-Thamrin yang tak kunjung selesai, serta rusaknya Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kalijodo karena minim perawatan.

Belum lagi persoalan bau serta hitamnya Kali Sentiong atau yang lebih dikenal sebagai Kali Item, yang mengalir di samping Wisma Atlet Kemayoran.

Padahal, Jakarta merupakan ibu kota, sekaligus etalase Negara Indonesia. Seluruh mata bangsa-bangsa Asia memandang Jakarta selama dua pekan penyelenggaraan perhelatan olahraga akbar ini yang dimulai pada 18 Agustus mendatang.

Kompas.com  mencoba mengurai permasalahan Metropolitan Jakarta dari berbagai sudut pandang, arsitektur, desain perkotaan, penataan ruang dan wilayah, dan sosial ekonomi, berikut solusinya.

Artikel ini merupakan bagian kedua dari liputan khusus  Jakarta Menantang Zaman. Bagian pertama Anda bisa membuka tautan ini Persoalan Jakarta Mirip Penyakit Kronis Manusia.

Mengeringkan Jakarta

Permasalahan banjir yang terjadi di Jakarta setiap tahun, dinilai merupakan akumulasi dari sejumlah persoalan.

Mulai dari normalisasi sungai yang dinilai justru melawan kehendak alam, hingga minimnya ruang terbuka hijau (RTH).

Bila dibandingkan luas wilayah DKI Jakarta yang mencapai 661,5 kilometer persegi, itu artinya luas area RTH yang ada tidak mencapai 5 persen.

Menurut arsitek dari Studio Arkanoma, Yu Sing, banjir di Jakarta sebenarnya bukanlah hal baru. Kerajaan Tarumanegara di dalam Prasasti Tugu pada abad ke-5 Masehi juga telah mencatat tentang adanya banjir.

Kemudian, pada abad ke-17 ketika Belanda menduduki Jakarta yang kala itu bernama Batavia, sudah ada perencanaan untuk membuat kanal-kanal sungai yang ada untuk mengatasi persoalan tersebut.

Namun yang perlu menjadi catatan, saat itu jumlah RTH dan rawa-rawa yang ada masih cukup besar. Bahkan, di dalam toponimi wilayah Jakarta, daerah rawa justru mendominasi.

Sebut saja seperti Rawa Pening, Rawa Sari, Rawa Badak, Rawa Jati, Rawa Bebek, Rawa Belong, Rawa Banbon, Rawa Buaya, Rawa Bugel, dan Rawa Mangun.

"Dalam kondisi ruang biru dan ruang hijau yang begitu banyak, pasti lebih dari 40 persen. Tapi Batavia masih sering kebanjiran," imbuhnya.

Yu Sing menuturkan, penanganan banjir pada masa penjajahan Belanda dan saat ini sebenarnya tidak jauh berbeda. Pemerintah percaya bahwa betonisasi sungai merupakan jalan keluar mengatasi persoalan ini.

Hal itu tidak terlepas dari paradigma pemerintah bahwa menangani banjir berarti mengeringkan Jakarta.

"Bagaimana mungkin bisa menyelesaikan persoalan alam ini terus menerus, bila paradigma menghadapi banjirnya membuat Jakarta kering? Jakarta sebagai kota rawa harus kembali kepada kondisi alaminya sebagai kota air," terang Yu Sing.

Bukan perkara mudah mengembalikan Jakarta sebagai kota air. Namun paling tidak pemerintah dapat memulainya dengan menambah kawasan RTH yang setiap hari kian menipis akibat proses alih fungsi lahan menjadi tempat tinggal atau perkantoran.

Selain itu, dalam merancang desain RTH, Pemprov DKI juga perlu mengacu pada konsep taman hujan (rain garden). Dalam hal ini taman yang dirancang memiliki ketinggian lebih rendah dari jalan.

"Masukkan dulu ke taman, sehingga taman didesain memiliki porositas yang tinggi. Air meresap sebanyak mungkin ke taman, sisanya baru ke saluran," usul Yu Sing.

Yu Sing menambahkan, kebanyakan RTH yang ada juga mengadopsi konsep mengeringkan Jakarta.

Hal itu terlihat dari banyaknya beton maupun semen yang melapisinya, dengan tujuan pada saat hujan turun air cepat kering.

"Akibatnya taman tidak berfungsi sebagai resapan yang optimal. Dia berfungsi bagi dirinya sendiri sebagai resapan, tetapi tidak membantu berkontribusi mengurangi air permukaan yang begitu banyak," tuntas dia.

Bersambung

https://properti.kompas.com/read/2018/07/24/210000521/hikayat-betonisasi-dan-paradigma-mengeringkan-jakarta

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke