Kini Kudus terkenal karena industrinya yang berkembang pesat, terutama industri rokok, makanan, dan lain-lain.
Arsitekur terkenal yang jadi ikon daerah ini adalah Menara Masjid Kudus yang menyerupai Candi Singasari.
Tak hanya menara masjid, Kudus ternyata juga memiliki peninggalan lain di bidang arsitektur yakni rumah tinggal yang sarat makna dan nilai sosio kultural.
Bangunan rumah Kudus banyak ditemukan di daerah Kudus Kulon, yang mayoritas dihuni oleh para pengusaha dan pedagang.
Rumah adat Kudus memiliki atap yang disebut dengan Pencu. Bangunan rumah didominasi dengan ukiran khas Kudus.
Bukan Sekadar Rumah, Juga Sarana Dakwah
Nilai religius tampak pada ciri arsitektur rumah tradisional Kudus. Bangunan rumah terbuat dari kayu berukuran besar dan tebal.
Uniknya, seluruh kayu yang terpasang sama sekali tidak dipaku layaknya rumah pada umumnya, namun hanya “dipantek” dengan kayu yang memiliki ukuran sama dengan paku besi.
Seluruh dinding, tiang, atap, penyekat, jendela, dan pintu terbuat dari kayu jati. Dari keseluruhan kayu jati yang digunakan, hanya bagian dinding kanan, kiri, dan belakang yang polos. Sisanya diukir dengan motf ukiran khas Kudus, seperti dikutip dari Harian Kompas, 12 April 1990.
Pada bagian ruang dalam yang disebut Gedongan dijadikan sebagai mihrab atau tempat Imam memimpin salat.
Tempat ini juga dikaitkan dengan makna simbolis sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan.
Gedongan juga merangkap sebagai tempat tidur utama yang dihormati pada waktu-waktu tertentu juga digunakan sebagai ruang tidur pengantin.
Masih di area Jaga Satru, pada bagian depan pintu masuk terdapat satu buah tiang di tengah ruang yang disebut Soko Geder atau tiang keseimbangan.
Tiang tersebut berfungsi sebagai pertanda atau tonggak untuk mengingatkan penghuni tentang ke-Esaan Tuhan. Selain itu, tiang Soko Geder juga menjadi simbol kepemiikan rumah.
Pada ruang dalam, terdapat empat tiang utama yang disebut Saka Guru. Keempat tiang ini melambangkan empat hakikat kesempurnaan hidup yaitu amarah, luamah, supiah, dan mutmainah.
Di atas keempat tiang tersebut terdapat tumpang sari sebagai pengerat yang jumlahnya selalu ganjil. Jumlah pengerat tersebut selalu memiliki makna, misalnya tumpang sari yang berjumlah lima buah yang melambangkan lima waktu salat.
Sebagai media dakwah, rumah adat Kudus memperlihatkan nilai-nilai keislaman yang diwujudkan dalam bentuk ukiran pada partisi antar ruang depan dan dalam. Partisi ini disebut dengan gebyok. Dalam tradisi Jawa gebyok digunakan sebagai pemisah antar ruang.
Setahun sekali dicuci
Layaknya pakaian, rumah adat Kudus pun juga melalui proses pencucian yang dilakukan minimal satu tahun sekali.
Umumnya para pemilik rumah membersihkan rumah mereka pada saat bulan puasa. Sebab pada masa itu rumah akan digunakan untuk menyambut tamu dan keluarga pada saat Lebaran.
Proses pencucian ini memakan waktu hingga 20 hari lamanya. Ini karena rumah adat Kudus memiliki ukuran rata-rata sebesar 19x17 meter.
Pencucian rumah adat sama sekali tidak menggunakan sabun maupun deterjen, namun menggunakan batang pisang yang dikelupas. Batang pisang tersebut kemudian direndam dalam air selama tiga hari tiga malam.
Nah air rendaman yang berwarna cokelat dan berbau inilah yang kemudian menjadi bahan pembersih rumah. sedangkan alat bantunya cukup hanya dengan sikat yang terbuat dari ijuk.
https://properti.kompas.com/read/2018/07/18/160000721/arsitektur-tradisional-kudus-rumah-sebagai-sarana-dakwah