Setidaknya, ada tiga hal krusial yang berpotensi menimbulkan masalah, yaitu proses konstruksi, dokumen perjanjian dan bukti kepemilikan, serta pengelolaan dan pemeliharaan.
Dari 60 aduan yang diterima Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sepanjang 2017, laporan terbanyak terkait masalah proses pembangunan.
"51 persen data di YLKI ini terkait pembangunan, jadi konsumen sudah bayar, tetapi pembangunannya belum ada," kata Pengurus Harian YLKI Sularsih kepada Kompas.com, Selasa (17/8/2018).
Menurut dia, tingginya aduan terkait masalah ini, tidak terlepas dari lemahnya pengawasan pemerintah.
Kendati begitu, sejatinya pemerintah telah mengeluarkan regulasi yang mengatur syarat penjualan bagi pengembang, yaitu minimal 20 persen.
Namun, karena minimnya pengawasan yang dilakukan pemerintah, akhirnya syarat tersebut sering kali diabaikan.
"Yang terjadi di lapangan, mereka hanya menjual gambar," kata dia.
Alhasil, tak jarang ada pengembang yang molor dalam merealisasikan janji mereka untuk menyerahkan unit yang telah dibeli konsumen, baik itu rumah tapak maupun apartemen.
"Itu karena status tanahnya belum tahu, IMB juga masih dalam proses. Tapi ini (konsumen) sudah deal untuk membeli dulu," ujarnya.
Persoalan lain yaitu soal pembayaran bertahap yang dilakukan langsung oleh konsumen kepada pengembang.
Padahal, Sularsih mengatakan, skema pembayaran ini cukup rawan lantaran pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK), juga tidak bisa menjamin keamanannya.
Berbeda halnya bila transaksi pembayaran dilakukan melalui perbankan yang membiayai pengembang dalam pembangunan.
Skema ini jelas dan ada pengawasan dari Bank Indonesia serta OJK dalam pelaksanaannya.
https://properti.kompas.com/read/2018/07/17/170000221/51-persen-kasus-properti-karena-pembangunan-tak-jelas