Kendati demikian, menurut Ketua DPP Real Estate Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata, pelonggaran aturan yang memungkinkan perbankan mengatur rasio uang muka atau down payment (DP) fleksibel ini hanya akan menjadi obat mujarab untuk perumahan non-subsidi.
"Karena rumah subsidi itu aturannya sudah jelas kan, ada subsidi jelas, subsidi macem-macem," kata dia di Jakarta, Kamis (12/7/2018).
Ia berkeyakinan, kebijakan ini dapat mengatrol penjualan rumah non subsidi, terutama dengan rentang harga antara Rp 200 juta hingga Rp 500 juta hingga 10 persen.
Sebab, masyarakat sebenarnya memiliki daya beli yang cukup tinggi untuk membeli rumah. Namun, mereka cenderung menunggu untuk membelanjakan uang yang dimiliki.
"Secara psikologis iya (daya beli terpuruk). Kenapa? Karena kan katanya ada laporan di bank itu tabungan masyarakat bertambah Rp 1.400 triliun. Jadi bukan dalam arti tidak mampu beli, tapi ogah beli, meski butuh," tutur Eman.
Di samping itu, relaksasi akan membuat sejumlah pengembang lebih kreatif dalam menjual produk properti mereka.
Sebagai gambaran, imbas dari relaksasi LTV yaitu perbankan diberikan kebebasan untuk mengatur rasio kredit yang akan diberikan kepada pemohon KPR.
Dengan demikian, calon pembeli rumah bisa mendapatkan hunian impian, meski tanpa uang muka alias DP 0 rupiah.
Namun, kecilnya DP dipastikan bakal berdampak pada besarnya bunga serta cicilan KPR yang harus dibayar oleh masyarakat setiap bulannya. Lewat metode itulah, pengembang berkreasi.
"Misalnya orang nggak punya DP, ya sudah cicil Rp 4 juta per bulan. Kan kalau enggak ada DP artinya cicilannya gede," kata Eman.
"Tapi tiba-tiba dia enggak mampu untuk bayar Rp 4 juta per bulan, ya bunganya di-swap tahun-tahun berikutnya. Jadi cicilannya Rp 3 juta per bulan, tapi setelah itu cicilannya Rp 6 juta setelah beberapa tahun," tutup Eman.
https://properti.kompas.com/read/2018/07/12/213000221/dp-fleksibel-bukan-untuk-rumah-subsidi