Di dalam salah satu kebijakan tersebut, BI memberikan kebebasan kepada perbankan untuk mengatur rasio LTV kredit properti dan pembiayaan properti fasilitas rumah pertama untuk semua tipe.
Saat aturan ini diterapkan, pembeli rumah pertama bahkan bisa mengajukan permohonan kredit pemilikan rumah (KPR) maupun kredit pemilikan apartemen (KPA) dengan rasio kecil bahkan bisa tanpa uang muka, alias down payment (DP) 0 persen.
Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar mengatakan, selama ini masyarakat kecil terutama yang bekerja di sektor informal, masih cukup sulit mengakses Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) agar dapat memiliki rumah.
Hal itu disebabkan tidak adanya penghasilan tetap yang mereka miliki setiap bulannya, sehingga dianggap kurang memenuhi syarat perbankan.
"Itu tidak bisa tersentuh dengan program ini. Dan itu jumlahnya banyak di kota-kota besar yang semakin mengalami urbanisasi yang semakin meningkat," kata Jehan saat dihubungi Kompas.com, Selasa (3/7/2018).
Untuk mengikuti program FLPP yang diberikan pemerintah dengan besaran uang muka 1 persen, misalnya, penghasilan minimal yang harus dimiliki yaitu Rp 4,5 juta hingga Rp 5 juta untuk KPR. Sementara, bagi yang ingin mengajukan KPA, penghasilan minimal yaitu sebesar Rp 7 juta.
"Pertanyaannya kelompok masyarkaat mana yang ingin disasar. Kalau program ini sebagai program populis, untuk pencitraan saja jadinya, ini mau seolah-olah ingin menyasar masyarakat miskin," kata dia.
"Dari sisi housing, perumahan rakyat, tetap tidak tepat sasaran. Yang miskin itu tidak akan pernah bisa FLPP, tidak akan bisa KPR. Walaupun DP-nya dinolkan bahkan sampai minus," imbuhnya.
Daripada merelaksasi LTV dan FTV, Jehan menyarankan pemerintah memperbanyak membangun rumah susun sederhana sewa atau apartemen sewa dengan harga terjangkau.
Hal ini untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan para pekerja informal yang bekerja di ibu kota untuk memiliki hunian.
Ia menambahkan, pesatnya laju urbanisasi di sejumlah kota besar dalam beberapa waktu terakhir, tidak dibarengi dengan percepatan pembangunan hunian.
Sementara, jumlah lahan yang ada kian terbatas. Pada akhirnya, tidak memungkinkan untuk membangun hunian dengan harga terjangkau bagi MBR maupun kelas informal.
"Nantinya, hanya kelompok masyarakat berpenghasilan menengah dengan range sekitar Rp 5-10 juta (yang bisa memanfaatkannya). Menengah ke bawah ya. Karena mereka yang mampu dan mereka sudah berpikir investasi properti," tutup Jehan.
https://properti.kompas.com/read/2018/07/03/150000821/pengamat--relaksasi-ltv-hanya-dinikmati-kelas-menengah