Menurut Ketua DPD REI Jawa Barat Joko Suranto, fenomena bergugurannya pengembang terjadi sejak 2014 saat sektor properti mulai melambat hingga Mei 2018.
"Bahkan, tahun ini lebih parah dari tahun 2017. Masih ada potensi pengembang lainnya yang saat ini bertahan, bisa stop beroperasi," ujar Joko kepada Kompas.com, Senin (2/7/2018).
Joko menjelaskan, pengembang yang tak sanggup bertahan itu merupakan pengembang yang selama ini bergerak di sektor perumahan murah dan subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Ada pun penyebab di balik kolapsnya 196 pengembang tersebut terutama karena penjualan yang terus menurun.
Jika dihitung sejak 2014 penurunan tajam penjualan bisa sampai 40 persen. Biasanya, kata Joko, satu pengembang bisa menjual rumah 10 unit dalam sebulan.
"Kini, bisa menjual satu atau dua rumah saja sudah untung," cetus dia seraya mengatakan MBR memutuskan tidak belanja rumah karena memang tidak ada uangnya.
Salah satu pengembang yang masih bertahan hingga kini namun mengalami kemerosotan penjualan sampai 45 persen adalah PT Buana Kassiti.
Mereka beroperasi di 11 kota dan kabupaten Jawa Barat. Tahun 2017, PT Buana Kassiti masih mampu menjual rumah 5 sampai 10 unit per bulan.
Namun sejak awal tahun hingga Juni 2018, PT Buana Kassiti hanya mampu menjual dua unit per bulan.
"Switching"
Menurut Joko, 294 pengembang anggota REI Jawa Barat lainnya yang masih bertahan, melakukan berbagai strategi bisnis.
Di antaranya switching atau mengubah orientasi pasar dari sebelumnya menggarap hunian di bawah Rp 500 juta menjadi di atas harga tersebut.
"Itu yang dilakukan mereka untuk mempertahankan eksistensi," kata Joko.
Pasar di atas Rp 500 juta hingga Rp 2 miliar, tambah dia, masih relatif lebih bagus karena daya beli konsumennya tidak terpengaruh kondisi perlambatan.
"Konsumen segmen pasar ini-lah yang selama ini menjadi booster bagi sektor properti di Jawa Barat," ucap Joko.
Kolapsnya para pengembang MBR ini, menurut dia, berdampak pada pemenuhan program pembangunan Satu Juta Rumah.
Tahun ini, DPD Jawa Barat menargetkan 30.000 unit terbangun. Namun, hingga kuartal II-2018, yang terealisasi baru 9.000 unit.
Kendati masih jauh dari target, Joko tetap optimistis para pengembang yang masih bertahan dapat terus membangun dan memenuhi target tersebut dengan catatan mendapat insentif dari pemerintah.
"Minimal, kami didampingi, diawasi, dan dibantu. Terutama masalah perizinan yang sampai saat ini memakan cost lumayan besar 15-20 persen dari total nilai proyek," harap Joko.
https://properti.kompas.com/read/2018/07/02/172502621/196-pengembang-properti-jawa-barat-gulung-tikar