Menurut Joko, selama daya beli masyarakat belum pulih, uang beredar minim, dan tidak ada kepastian dalam berinvestasi, kebijakan BI tersebut hanya akan menguap begitu saja.
"Kebijakan itu baik. Tapi untuk konteks saat ini tak berpengaruh signifikan. Itu akan menguap begitu saja selama masyarakat enggak punya duit belanja rumah," kata Joko kepada Kompas.com, Senin (2/7/2018).
Seharusnya, lanjut Joko, pemerintah juga memastikan tegaknya kebijakan-kebijakan yang telah dirilis beberapa waktu lalu melalui Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) XIII tentang Perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
PKE XIII tersebut ditajamkan melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 668/1062/SJ tentang Percepatan Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di daerah.
Joko berpendapat, seharusnya pemerintah memastikan hal ini berjalan agar tidak ada lagi high cost economy dalam perizinan.
Pasca surat edaran itu terbit, tidak ada perubahan sama sekali tentang efisiensi perizinan. Bahkan, aku Joko, pengembang di Jawa Barat masih memikul beban harus membayar 15 persen hingga 20 persen biaya perizinan dari total nilai proyek.
"Ini kan memberatkan pengembang rumah MBR," cetus Joko.
Padahal, ada tiga hal dalam surat edaran tersebut yang diharapkan Joko dapat membantu memulihkan sektor properti terutama pengembangan rumah bagi MBR.
Pemerintah, kata Joko, harus mau mendengar suara pengembang yang membangun rumah MBR. Beri pendampingan, pengawasan, dan juga intensif agar mereka dapat terus berproduksi.
Sebelumnya diberitakan, dengan kebijakan ini, BI memberi kebebasan kepada perbankan untuk mengatur rasio LTV kedit properti dan pembiayaan properti fasilitas rumah pertama untuk semua tipe.
"Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan kesempatan kepada masyarakat, terutama first time buyer untuk memenuhi kebutuhan rumah pertama melalui KPR ( Kredit Pemilikan Rumah)," ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo saat Konferensi Pers Rapat Dewan Gubernur (RDG), Jumat (29/6/2018).
LTV sendiri berhubungan dengan rasio pinjaman yang diterima debitor Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dari bank, sehingga mempengaruhi uang muka (down payment/DP) yang harus dibayar konsumen.
Semakin longgar atau besar rasio LTV, semakin kecil DP yang disediakan konsumen, sehingga bisa meningkatkan daya beli.
Pada aturan LTV sebelumnya, BI menetapkan besar uang muka pembelian rumah pertama mencapai 10 persen dari harga rumah.
Dengan ketentuan baru ini, Bank Indonesia membebaskan besaran uang muka tersebut kepada pihak bank.
"Besaran rasio LTV diserahkan kepada manajemen risiko masing-masing bank," sebutnya.
Sementara untuk rasio LTV rumah kedua dan seterusnya diatur pada kisaran 80 persen hingga 90 persen, kecuali rumah tipe 21.
"Untuk tipe di bawah 21 meter persegi yang memang kami bebaskan untuk LTV-nya," ujar Perry.
Dia menyebutkan, BI juga akan memperlonggar jumlah fasilitas kredit atau pembiayaan melalui mekanisme inden menjadi maksimal 5 fasilitas tanpa melihat urutan.
Selain itu, untuk penyesuaian aturan tahapan pencairan kredit pembiayaan menjadi maksimum pencairan kumulatif sampai 30 persen dari plafon setelah akad kredit. Selanjutnya setelah ditandatangani dapat dicairkan kredit maksimum 30 persen.
"Tahapan selanjutnya saat pondasi selesai, pencairan kumulatif kredit 50 persen dari plafon. Untuk tutup atap selesai kredit kumulatif 90 persen dari plafon," tambah dia.
Penandatanganan dan serah terima akta jual beli dilakukan setelah pembangunan selesai dilakukan.
https://properti.kompas.com/read/2018/07/02/163754421/pengembang-properti-anggap-relaksasi-ltv-tak-berpengaruh-signifikan