Bagaimana tidak, organisasi yang menjadi tempat bernaung para arsitek itu justru bakal lebih dulu menerapkan sistem pemilihan elektronik atau e-voting untuk memilih ketua umum mereka pada 22 September mendatang.
Ketua Umum IAI Ahmad Djuhara menjelaskan, sistem e-voting dipilih untuk menjamin agar seluruh anggota IAI dapat menyalurkan hak suaranya.
Hal itu disebabkan tidak semua anggota IAI dapat hadir pada saat pemilihan yang akan dilangsungkan di Bandung, Jawa Barat, 22 September 2018 mendatang.
"Jadi kami menjamin semua anggota IAI bisa memilih," kata Djuhara kepada Kompas.com, Jumat (29/6/2018).
Saat ini, ia menambahkan, Dewan Pengurus Pusat IAI telah membentuk panita pemilih atau panlih yang bertugas melaksanakan proses pemilihan tersebut.
Nantinya, ada tiga mekanisme e-voting yang dapat digunakan anggota saat pemilihan.
"Lewat web base, sms dan apps," kata dia.
Hasil suara yang masuk akan dihitung oleh panlih untuk kemudian ditentukan siapa kandidat yang keluar sebagai pemenang sebagai ketua umum yang baru.
Sebagai perbandingan sistem pemilihan umum yang kini masih berlaku di Indonesia, baik pilpres, pileg maupun pilkada, masih dilakukan secara manual.
Masyarakat yang memiliki hak suara diawajibkan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) yang telah disediakan jika ingin menyalurkan hak suaranya.
Nantinya, data perolehan suara akan dihitung secara manual untuk kemudian dihimpun secara berjenjang mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hingga tingkat pusat.
Mekanisme itu membutuhkan waktu yang lama hingga akhirnya keluar siapa kandidat calon kepala daerah yang dinyatakan sebagai pemenang.
https://properti.kompas.com/read/2018/06/29/150156921/terapkan-e-voting-pemilihan-ketum-iai-lebih-canggih-ketimbang-pilkada