Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Condro Kirono menggambarkan situasi lalu lintas di jalur yang selama ini menjadi momok bagi para pemudik, kepada Tim Merapah Trans Jawa Kompas.com, Rabu (13/6/2018).
Menurut Condro, masyarakat yang melakukan perjalanan mudik lebih antusias menggunakan Jalan Tol Trans Jawa. Bebas hambatan, mulus, dan lebih cepat sampai ke tempat tujuan.
"Mereka penasaran, karena selain tol operasional, beberapa ruas difungsikan untuk mudik tahun ini. Jadi, tol yang bisa digunakan semakin panjang, kan. Sementara di jalur pantura banyak persimpangan, pasar, dan lain-lain yang potensial menghambat perjalanan mereka," panjang lebar Condro menjelaskan.
Dari pantauan Tim Merapah Trans Jawa Kompas.com selama tiga hari dua malam ulang-alik jalur pantura di wilayah Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, dan Cirebon sejak Senin (13/6/2018), kondisi arus lalu lintas memang sepi.
Pesona Tol Trans Jawa ini tak hanya menyedot perhatian pemudik dari Jakarta seperti Djoko Saputro yang mencetak rekor perjalanan tercepat 6 Jam ke Delanggu, Klaten, juga pemudik Cirebon.
Arief Fadillah salah satunya. Bapak dua anak ini mengaku penasaran dan baru memanfaatkan Tol Trans Jawa untuk pulang ke kampung halaman di Demak tahun ini.
Bertahun-tahun dia bergelut dengan kendaraan besar bus, dan truk gandeng menyusuri Pantura Cirebon-Demak dalam waktu 7 jam. Bahkan, tahun 2016 lalu mencapai 12 jam!
"Saya masuk Plumbon, pukul 13.00 WIB, istirahat sebentar di rest area Batang 1 jam shalat. Nyambung lagi dan keluar Grinsing istirahat lagi. Itu total cuma 2 jam. Biasanya, lewat Pantura Cirebon-Grinsing 4 jam," tutur Arief.
Untuk diketahui, menurut data PT Jasa Marga (Persero) Tbk, sudah 563.083 kendaraan yang meninggalkan Jakarta melintasi Jalan Tol Trans Jawa melalui GT Cikarang Utama sejak H-8 hingga H-3.
Kendati banyak yang tersihir mulusnya tol operasional dan fungsional Trans Jawa, tak sedikit pula yang setia berjibaku di jalur Pantura.
Rozy Aldilasa adalah satu di antara mereka yang langka, yang masih memanfaatkan jalur pantura. Bersama istri dan kedua orang tuanya, karyawan Gen FM Radio ini memulai perjalanan pada pukul 09.00 WIB, Selasa (13/6/2018) dari Cibubur, Jakarta Timur.
"Total 10 jam dan hanya satu kali isi tangki bahan bakar minyak (BBM). Alhamdulillah lebih lancar, karena jalan lengang ya," kata Rozy.
Dua tahun lalu, cerita dia, waktu tempuh dari Cibubur ke Pekalongan bisa sampai 14 jam melalui jalur yang sama.
Jejak Daendles
Meski pamornya meredup, tak dapat dimungkiri bahwa jalur pantura hingga saat ini merupakan salah satu poros utama transportasi di Pulau Jawa.
Mengutip Purnawan Andra, peminat pergelaran dan etnokoreologi, jalur pantura ini sesungguhnya didasari oleh proyek raksasa Gubernur Jenderal Hindia Belanda Maarschalk Herman Willem Daendels bernama “Jalan Raya Pos” (Groote Postweg, The Great Post Road) pada tahun 1808.
Meski perannya mulai tergantikan oleh ratusan kilometer jalan tol di beberapa ruas seperti Merak-Jakarta-Bogor, Jakarta-Cikampek-Bandung-Cileunyi, Cirebon, Semarang, Gresik Surabaya, namun Jalan Raya Pos adalah semacam garis bantu sketsa yang mendorong perkembangan seluruh cerita infrastruktur transportasi pulau Jawa dalam empat dekade terakhir.
Usaha pembangunan jalan ini adalah suatu karya spektakuler pada masanya. Menghubungkan Anyer di ujung barat sampai dengan Panarukan di wilayah timur pulau Jawa sepanjang kurang lebih 1.341 kilometer.
Andra menulis, diperlukan pengorbanan tak terhingga, baik harta, benda dan nyawa, untuk mewujudkan jalur pantura. Arti penting pulau Jawa dalam konstelasi politik waktu itu membuatnya menjadi vital untuk diperebutkan.
Rute kota yang dirancang dilalui jalan ini, bukan tanpa pertimbangan. Pada era kekuasaannya yang relatif singkat (1801-1811), Daendels menciptakan konsep kota-kota wisata (Bogor), kota pendidikan, wisata dan militer (Bandung).
Desain proyek yang disertai analisa tata ruang dengan mempertimbangkan kondisi geografis yang tepat menjadikan Jalan Raya Pos adalah referensi penting sejarah, ekonomi, tata ruang sampai dengan visi strategis sebuah pemerintahan.
"Jalan raya tidak hanya merupakan artefak komunikatif dan simpul pengikat suatu wilayah. Jalan raya, dengan kehidupannya sendiri, adalah ironi sejarah, modernitas dan kemanusiaan bangsa," tulis Andra.
Bagaimana nasibnya kini?
Kondisi jalur pantura terkini, meminjam istilah Rozy dan Condro, tidak crowded lagi. Arus lalu lintas lebih tertib dan mengalir lancar.
Bahkan, jalan pendekat jelang Jembatan Comal di Pemalang, yang menjadi simbol "penderitaan" pemudik tiap tahun kami dapati sangat sepi pada siang hari.
Di jalur menuju Alas Roban, laju kendaraan kami menyentuh 100 kilometer per jam. Demikian halnya saat memasuki Tegal, Brebes, dan tiba di Cirebon, volume kendaraan bisa dihitung dengan jari dua tangan.
Tak mengherankan jika Condro menganalisa bahwa pemanfaatan jalur Pantura saat ini didominasi pemudik atau penduduk lokal.
Fenomena serupa yang kami dapati di jalur pantai selatan Jawa (Pansela) pada Sabtu (9/6/2018) malam hingga Minggu (10/6/2018) siang.
Bedanya, Pansela menyuguhkan panorama alam yang menawan, sementara Pantura justru membutuhkan sikap ekstra sabar pengguna jalan. Debu dan gersang tak bisa dipisahkan, lekat dengan citra Pantura selama ini.
Selamat Lebaran, selamat berbagi keceriaan di kampung halaman!
https://properti.kompas.com/read/2018/06/14/080200821/jalur-pantura-jejak-daendles-yang-kalah-pamor-dari-tol-trans-jawa