Kota gurun di luar Phoenix tersebut saat ini telah mengalami lonjakan harga sewa rumah rata-rata 200 dollar (Rp 2,7 juta) per bulan sejak 2015.
Komunitas 12 "micro-estates," begitu pengembang menamainya, akan berdiri di lahan seluas sekitar satu hektar dengan masing-masing rumah berukuran 600 kaki persegi atau 55 meter persegi.
Rumah-rumah dirancang satu kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tamu, dapur lengkap, ruang penyimpanan, dan teras.
Mereka diperkirakan menelan biaya sekitar 130.000 dollar (Rp 1,7 miliar), meskipun pengembang bertujuan untuk menurunkan biaya menjadi 100.000 dollar (Rp 1,4 miliar).
Pemilik rumah juga bakal diberi akses ke kebun bersama serta bangunan komunal terpisah seluas 83 meter persegi, yang dilengkapi fasilitas binatu.
Ketika menyangkut tata-letak, perkebunan mikro didesain dua lantai. Secara estetis, rencananya akan bergaya bungalow yang populer tahun 1920-an dan 1930-an.
Dengan luas 55 meter persegi, pembeli rumah di Tempe memiliki potensi untuk mendapatkan pinjaman dan bantuan federal untuk membantu pembelian rumah mereka.
Tempe tidak sendirian mengalami krisis perumahan terjangkau. Epidemi menyebar dengan cepat secara nasional.
Di Los Angeles, misalnya, menurut RentCafe sewa rata-rata pada akhir 2017 melonjak lebih dari 4,3 persen dari tahun sebelumnya.
Lalu ada San Francisco, pasar sewa paling mahal di negara ini, menurut NBC Bay Area, sewa rata-rata untuk satu kamar di San Francisco adalah 3.390 dollar atau Rp 46 juta.
Secara keseluruhan, sebuah Laporan Sewa Nasional 2018 mencatat bahwa harga sewa apartemen naik dari bulan ke bulan di 81 dari 100 kota besar di negara itu.
Masalah perumahan terjangkau di negara itu memotivasi para pemimpin kota, seperti yang ada di Tempe, serta perusahaan startup untuk bertindak dan berinovasi.
Sebuah startup bahkan telah memulai rumah pencetakan 3D seluas 60,3 meter persegi dengan harga 4.000 dollar (Rp 55 juta) pada tahun ini.
https://properti.kompas.com/read/2018/04/11/110000421/-micro-estates-solusi-meredam-kenaikan-harga-sewa-rumah