Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Macet, Jakarta Masih Berorientasi pada Kendaraan Pribadi

Ketika jarum jam menunjukkan pukul 17.30-21.00, jalur-jalur jalan di Jakarta bak lapangan parkir yang dipenuhi kendaraan.

"Ini seperti parkir berjamaah di jalan tol," kata seorang pendengar radio melaporkan situasi yang dialaminya. 

"Kelar dah. Sudah tiga jam masih di Rasuna Said," timpal pendengar radio lainnya.

Celetukan-celetukan, atau bisa dianggap sebagai keluhan di atas adalah hal biasa yang kita dapati setiap waktu puncak pulang kerja pada setiap Jumat. 

Hal biasa. Ya, bukan sesuatu yang istimewa, dan ini diterima dengan sikap kedewasaan tingkat dewa.

Betapa tidak, mereka yang terjebak berjam-jam hanya untuk menempuh perjalanan 5 kilometer, misalnya, tidak lantas melakukan demontrasi berjilid-jilid, membakar ban motor bekas, membentangkan spanduk selebar rekor MURI, atau melakukan aksi mogok makan dan kerja.

Terhadap situasi ini, Country Director Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Yoga Adiwinarto mengatakan Jakarta menjadi seperti ini karena konsep kotanya baru dirancang apda era 1990-an, saat mobil menjadi primadona.

"Dampaknya sekarang macet. Energi yang kita perlukan untuk melakukan mobilisasi dari hunian ke tempat kerja saja sudah besar sekali," kata Yoga dalam keterangan tertulis yang dikirim kepada Kompas.com, Selasa (20/3/2018).

Warga Jakarta memilih menggunakan kendaraan pribadi karena, sarana dan prasana untuk mengakses transportasi massal belum memadai. 

Trotoar misalnya. Data bulan Agustus 2017 menunjukkan, 83,9 persen parkir ilegal berada di atas trotoar. Pedestrian atau pejalan kaki juga belum difasilitasi dengan layak. Fasilitas publik yang layak buat pedestrian hanya 10,3 persen.

"Sementara 2,4 persen trotoar dan jalan rusak," imbuh Yoga.

Sarana dan prasarana untuk warga Jakarta mengakses transportasi publik, penting disediakan. Pasalnya, sebanyak 52 persen atau 6,7 juta warga Jakarta tinggal di area radius 1 kilometer dari Stasiun Transjakarta

Jadi, bagaimana mau menggunakan kendaraan publik jika aksesnya saja tidak layak?

Karena itu, ITDP bersama lembaga terkait berinisiatif untuk mengubahnya, menjadikan Jakarta kota yang lebih ramah bagi warganya, khususnya pejalan kaki.

Tujuan gerakan ini agar pada tahun 2030 nanti tidak ada lagi warga Jakarta yang beraktivitas atau bepergian sehari-hari mengendarai mobil.

"Kami ingin kota yang dekat dengan angkutan massal. Misalnya trotoar dari hunian ke halte bus, dekat dan aksesnya bagus," tambah Yoga.

ITDP kemudian merekomendasikan pemerintah dan juga swasta untuk menciptakan hunian yang mengutamakan akses pejalan kaki dan pesepeda. 

Kemudian menyambungkan hunian dnegan angkutan massal sedekat mungkin. Dan terakhir, swasta dan pemerintah bekerja sama mengembangkan angkutan massal.

Yoga mencontohkan, Sunway Group sebagai pengembang bekerja sama dengan pemerintah Malaysia membangun Sunway Elevated BRT sepanjang 5,2 kilometer di Kuala Lumpur, untuk meningkatkan akses ke kawasan Sunway.

Hal yang sama, menurut dia, juga bisa dilakukan pengembang-pengembang Indonesia. Seperti Synthesis Development yang mulai mengampanyekan tinggal di apartemen dekat dengan stasiun light rail transit (LRT) dan TransJakarta.

https://properti.kompas.com/read/2018/03/20/193238821/macet-jakarta-masih-berorientasi-pada-kendaraan-pribadi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke