Dilansir dari NU Online, Gito yang merupakan seorang santri asal Semarang menyelesaikan pendidikan master di bidang arsitektur dan planologi di Belgia. Kini, Gito aktif sebagai arsitek sekaligus konsultan planologi di Jakarta.
Pemikirannya pun dinamis, aktual, dan tidak terkooptasi ruang-ruang sempit sebagai akibat dari praktik fanatisme terhadap agama. Termasuk soal konsep desain sebuah bangunan, terutama tempat ibadah.
Menurut Gito, setiap kebudayaan di dunia, memiliki pengaruh terhadap konsep rancang bangun pusat peradaban islam.
“Seperti masjid, misalnya. Kalau adik-adik perhatikan, tentu berbeda antara masjid di Timur Tengah dengan kubah-kubahnya, dan Masjid Agung Demak dengan model atap susun,” kata Gito saat diskusi bertajuk ‘Satu Jam Bersama Santri Profesional’, akhir pekan lalu.
Dalam merancang sebuah bangunan, tak hanya aspek matematis dan estetika yang diperhatikan. Nilai-nilai sosial, kebudayaan, dan tata karma tak luput menjadi perhatian di dalam dunia arsitektur.
“Kalau Adik-adik ziarah ke makam-makam wali, misalnya, hampir selalu ada aturan bahwa bangunan di sekitarnya tidak boleh bertingkat. Atau di sebagian daerah, ada aturan bahwa bangunan tidak boleh lebih tinggi dari atap atau menara masjid. Itu merupakan perwujudan adab dan akhlak dalam arsitektur,” tutur Gito.
Ia lantas menceritakan bagaimana Sunan Kalijaga merancang Soko Tatal di Masjid Agung Demak, setelah melewati serangkaian proses tirakat.
Itu artinya, nilai-nilai kebudayaan masuk melalui perenungan dan filosofi yang membutuhkan proses yang panjang.
Soko Tatal yang terbuat dari potongan banyak kayu yang digabungkan menggambarkan kesadaran Kanjeng Sunan yang memahami betul bahwa masyarakat ke depannya akan sangat beragam, tetapi apabila diikat dan dipersatukan, akan menjadi kekuatan yang sangat kokoh.
Sepanjang karirnya, berbagai tempat yang mayoritas dihuni umat islam, pernah ia singgahi. Seperti Hijaz di Arab Saudi, Irak, Suriah, Yaman hingga Palestina. Hal itu dilakukan untuk memperkaya khazanah tentang arsitektur di berbagai negara tersebut.
Gito menambahkan, bahan baku yang ada di setiap negara, juga memberikan pengaruh terhadap nilai-nilai sebuah arsitektur.
Bangunan di daerah dengan ketersediaan kayu yang melimpah seperti Indonesia tentu akan berbeda dengan corak bangunan di Timur Tengah yang tidak mempunyai sumber kayu yang banyak.
"Di Yaman, misalnya, ada menara tinggi yang full terbuat tanah liat dan menjadi menara tanah liat tertinggi di dunia,” ucap Gito.
https://properti.kompas.com/read/2018/03/13/104051421/santri-arsitek-bicara-peradaban-islam-melalui-arsitektur