BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Verde Two
Salin Artikel

Tinggal di Tengah Kota, Apakah Sebegitu Buruknya?

Faktanya secara total 20 juta kendaraan beredar di Jakarta, bukan per bulan, apalagi per tahun, melainkan hampir setiap hari.

Baca: Ini Jumlah Kendaraan yang Beredar di Jakarta

Oleh karenanya, kita pun akan sama-sama mudah menganggukkan kepala manakala citra pertama tentang Ibu Kota ini masih belum berubah. Jakarta sama dengan kata "macet”.

"Kemacetan di Jakarta mengakibatkan kerugian 5 miliar dollar AS (sekitar Rp 67 triliun) per tahun karena jumlah jalan kecil," kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro.

Baca: Bappenas: Kerugian akibat Macet Jakarta Rp 67 Triliun Per Tahun

Oleh karenanya pula, pemerintah menggenjot infrastruktur, mengingat sisi humanisme warganya rentan terkikis gara-gara kemacetan.

Belum lagi, bersamaan dengan itu, padatnya manusia dengan segala aktivitasnya menyisakan segala materi di udara.

Karbon monoksida, sulfur dioksida, dan jenis-jenis materi lainnya beterbangan, yang menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berukuran partikel PM10 atau sepanjang 0,01 cm, dan PM2.5 atau 0,0025 cm, yang setara sepertiga puluh dari ukuran satu helai rambut.

Untuk sejumlah negara berkembang, WHO melalui Air Quality Guidelines menetapkan batasan PM2.5 sebanyak 25 mikrogram per meter kubik per 24 jam di udara untuk menekan hingga 15 persen angka kematian yang disebabkan polusi udara.

Baca: Tanpa Anda Sadari, Polusi Udara Bunuh Jutaan Jiwa Setiap Tahun

“Unhealthy” berarti polusi sudah memberikan dampak terhadap kesehatan sistem pernapasan. Oleh karenanya, anak-anak, orang tua, dan mereka yang memiliki masalah seperti asma sudah diharuskan menghindari area tersebut.  

Baca: 2016, Warga Jakarta Rugi Rp 51,2 Triliun karena Pencemaran Udara

Maka jangan heran jika banyak orang yang akhirnya cukup menjadikan Jakarta sebagai tempat kerja saja.

Setidaknya dua sampai tiga tahun lalu, jumlah penduduk Jakarta bisa menjadi 11,5 juta jiwa pada siang hari, tetapi mengecil hingga 9,7 juta jiwa ketika malam hari.

Selisih dari jumlah di atas memilih tinggal di Bogor, Depok, dan lainnya, antara lain dengan alasan menghirup udara yang lebih segar, sekalipun mengorbankan waktu—yang belum tentu sejam dua jam—demi menuju Jakarta ataupun kembali pulang supaya bisa bercengkerama lagi dengan anak-anak di rumah.

Baca: Tantangan Jakarta untuk Bisa Menjadi Kota Layak Huni pada 2030

Apakah ini berarti, telak, pilihannya menjadi serba sulit? Apakah sebegitu kejamnya Jakarta jika kita memilihnya sebagai tempat tinggal? Tidak bisakah kita tetap tinggal saja di Jakarta supaya “gampang ke mana-mana”?

Dorongan untuk menjadikan Jakarta menjadi tempat tinggal yang nyaman sejatinya telah lama diusahakan berbagai pihak.

Bicara kualitas udara, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui rilis yang diterima KompasProperti, Minggu (2/7/2017), mengejar terus terwujudnya ruang terbuka hijau melalui Program Pengembangan Kota Hijau.

Hunian di tengah kota seperti apartemen Verde Two CBD Kuningan bahkan siap memasangkan AC dengan injeksi udara murni di tiap unit tinggalnya.
 
Mereka juga membangun 25 fasilitas untuk mendukung kenyamanan, di antara arsitektur bangunan yang mengutamakan kelegaan, seperti gym dan kolam renang anak, hingga area-area teduh untuk membaca, meditasi, dan yoga demi meredakan ketegangan, suatu kenyamanan yang bisa disetarakan dengan hotel bintang lima.

Harapan pun oleh karenanya tidak pupus begitu saja. Dengan makin terwujudnya langkah-langkah seperti di atas, maka mengembalikan kemanusiawian Jakarta sebagai ruang yang digunakan sama-sama untuk beraktivitas bukan hanya akan menjadi wacana semata.


https://properti.kompas.com/read/2018/02/28/172220921/tinggal-di-tengah-kota-apakah-sebegitu-buruknya

Bagikan artikel ini melalui
Oke