Seperti diwartakan Fortune, Sabtu (24/2/2018), barang dagangan yang dieliminasi Starbucks mencapai 200 produk. Jika dipersentasekan, angka tersebut mencapai 30 persen dari produk yang ada.
Selama ini, Starbucks memang dikenal "rajin" menjajakan aneka produk dalam gerainya.
Sebut saja, kopi atau teh berbagai rasa serta ukuran. Ada pula beragam makanan seperti burger, kue, sandwich, dan sebagainya.
Belum lagi, pernak-pernik semacam gelas, tumbler beling dan plastik aneka warna serta tulisan, biji kopi, dompet, dan barang lainnya.
Model-model suvenir itu senantiasa berganti secara periodik dan di setiap wilayah pun berbeda-beda jenisnya.
Rupanya, Starbucks menyadari bahwa menjual terlalu banyak produk menimbulkan kompleksitas. Baik dari segi operasional toko maupun dari sisi konsumen.
Dengan menjual semakin banyak produk, akan semakin besar pula biaya operasional yang dibutuhkan Starbucks atau peritel lainnya.
Biaya-biaya tersebut, antara lain biaya bahan baku, pengiriman, loading barang, penyimpanan, dan lain sebagainya.
Belum lagi, peritel mesti memerhatikan masa edar produk yang ada, utamanya makanan.
Setiap produk makanan bisa mengalami kedaluwarsa sehingga apabila tidak laku terjual, bakal menjadi kerugian bagi perusahaan.
Mereka mesti mempelajari lebih banyak karakteristik produk dan membutuhkan waktu lebih lama untuk meracik makanan atau minuman yang berbeda-beda.
Rumit
Sementara itu, dari sisi konsumen, terlalu banyaknya produk bisa membuat pengambilan keputusan menjadi panjang.
Sebagai adagium sederhana, seseorang yang dihadapkan pada 2 pilihan tentunya bisa lebih mudah memutuskan dibandingkan jika ada 10 pilihan, misalnya.
Kondisi lambatnya konsumen memutuskan pilihan bisa membuat efektivitas layanan tak tercapai.
Konsumen perlu mengamati satu per satu produk dan acap kali bertanya kepada pelayan toko terkait produk-produk tersebut. Pelayan pun mau tak mau mesti melayani setiap pertanyaan yang ada dan itu membutuhkan waktu.
Kalau kondisi toko sedang sepi, tentunya hal itu tidak menjadi masalah. Namun, coba bayangkan, apabila toko tengah ramai dan setiap konsumen melakukan hal serupa, berapa banyak waktu terbuang?
Berapa panjang antrean yang muncul akibat tertahan di layanan satu konsumen? Belum lagi, konsumen yang mengantre lama bisa merasa sebal dan malah meninggalkan gerai.
"Upaya penyederhanaan (pilihan produk) ini bakal meningkatkan fokus kami dan mengurangi kompleksitas operasional di toko," tegasnya.
Pada akhirnya, menyesuaikan bisnis dengan kondisi aktual pasar memang dibutuhkan. Jika tak mau berubah, bukan tak mungkin bisnis karam atau bangkrut.
Seperti pepatah seorang bijak "Berubah itu berisiko, namun lebih berisiko jika tidak berubah".
https://properti.kompas.com/read/2018/02/25/193000021/apa-motif-starbucks-lenyapkan-200-produk-