Demikian Ketua Masyarakat Infrastruktur Indonesia (MII) Harun al-Rasyid Lubis menjawab Kompas.com, terkait moratorium seluruh proyek infrastruktur, terutama yang didesain dengan struktur layang (elevated), Rabu (21/2/2018).
Harun menganalisa, kesalahan pemerintah yang mendasar adalah menumpukan pekerjaan infrastruktur strategis berdasarkan penunjukan. Jelas, ini mematikan iklim kompetisi yang adil dalam industri jasa konstruksi.
PT Waskita Karya (Persero) Tbk merupakan kontraktor terbanyak yang mendapat beban daftar proyek percepatan infrastruktur pemerintah.
Melalui PT Waskita Toll Road, kontraktor pelat merah ini memiliki 700 kilometer proyek infrastruktur jalan tol. Dari total panjang ini, 95 persen di antaranya merupakan kategori green field atau baru.
"Ini nggak fair. Perlu keterbukaan, termasuk lelang proyek. Bukan bagi-bagi macam arisan dan penunjukkan seperti ini," sebut Harun.
Alhasil, kata dia, banyak terjadi kecelakaan karena Waskita abai menerapkan manajemen proyek profesional. Karena merasa sudah mendapat dukungan penuh dari pemerintah sebagai end user.
Waskita seharusnya melakukan opname total pada semua level manajemennya, termasuk manajemen pengawasan yang tidak bekerja prima.
"Mereka mungkin kelebihan beban tapi kekurangan sumber daya manusia (SDM)," sebut dia.
1. Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) sepanjang 11 kilometer dengan nilai investasi Rp 13 triliun.
2. Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi) sepanjang 54 kilometer dengan nilai investasi Rp 7,7 triliun.
3. Tol Depok-Antasari (Desari) sepanjang 22,8 kilometer dengan nilai investasi Rp 3,9 triliun.
4. Tol Cimanggis-Cibitung sepanjang 25,4 kilometer dengan nilai investasi Rp 7 triliun.
5. Tol Pemalang-Batang sepanjang 39,2 kilometer dengan nilai investasi Rp 6 triliun.
6. Tol Pasuruan-Probolinggo sepanjang 31,3 kilometer dengan nilai investasi Rp 3,9 triliun.
https://properti.kompas.com/read/2018/02/21/153000021/ini-dampak-penghentian-sementara-proyek-infrastruktur