Dari jumlah tersebut, tujuh di antaranya terjadi pada proyek yang dikerjakan PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Perusahaan pelat merah itu pun mencatat rekor terbanyak menimbulkan kecelakaan kerja.
Masih ingatkah Anda? Sebuah mobil berisikan dua orang tertimbun tembok perimeter selatan Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada 5 Februari lalu? Korbannya, Dianti Diah Ayu Cahyani Putri (24), akhirnya meninggal dunia setelah berhasil diselamatkan.
Ia meninggal akibat patah tulang, traumatik di leher, hingga nafas dan detak jantung yang tidak stabil.
Adapun akses perimeter tersebut merupakan bagian dari proyek Kereta Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang digarap Waskita.
Dirjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Arie Setiadi Moerwanto kala itu menyebut kasus ini sebagai kegagalan bangunan.
Menteri PURP Basuki Hadimuljono bahkan telah memberikan rekomendasi kepada Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, selaku end user dari proyek tersebut, untuk membongkar seluruh turap akses kereta bandara.
"Saya sudah kirim surat rekomendasi ke Menteri Perhubungan untuk bongkar semua temboknya," ujar Basuki kepada Kompas.com di Yogyakarta, Sabtu (17/2/2018).
Belum genap sepekan Basuki berbicara, tepatnya Selasa (20/2/2018) kemarin, lagi-lagi proyek yang digarap Waskita mengalami kecelakaan kerja.
Kali ini, salah satu bekisting pierhead pada proyek Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu yang berada di Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur, ambruk.
Tujuh orang mengalami luka-luka dalam insiden ini dan harus dilarikan ke Rumah Sakit UKI Cawang.
Pemerintah pun kembali mengambil langkah lebih tegas. Kali ini, seluruh proyek dengan konstruksi layang atau elevated menggunakan alat berat dihentikan sementara pekerjaannya sambil menunggu hasil evaluasi dari tim independen.
Moratorium ini tak hanya berimbas pada proyek jalan tol, tetapi juga proyek mass rapid transit (MRT) dan light rail transit (LRT). Demikian halnya proyek jembatan yang memiliki bentang panjang.
Sebelum ini, Waskita juga telah dijatuhi sanksi atas lima kasus kecelakaan kerja. Namun, sanksi yang diberikan relatif ringan, yaitu hanya teguran dan diminta dilakukan perbaikan.
Pertama, ambruknya dua unit crane berbobot 70 ton dan 80 ton pada proyek LRT Palembang, Agustus 2017. Akibat peristiwa itu, sejumlah rumah warga tertimpa dan menyebabkan penghuni di dalamnya luka-luka
Kedua, jembatan penyeberangan pada proyek Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi) ambruk pada September 2017.
Ditengarai, peristiwa itu terjadi akibat tali sling yang belum terpasang saat hendak memasang badan jembatan sehingga jatuh menimpa para pekerja proyek.
Dari peristiwa tersebut, seorang pekerja meninggal dunia dan dua lainnya mengalami luka-luka. Pekerja yang meninggal dunia karena langsung tertimpa badan jembatan, sementara korban selamat tetap mengalami luka serius.
Ketiga, girder box pada proyek jalan tol Pasuruan-Probolinggo, Jawa Timur jatuh pada Oktober 2017. Kala itu, terdapat korban tewas satu orang yang sekaligus karyawan Waskita Karya dan korban luka dua orang selaku pekerja proyek.
Keempat, sebuah crane pengangkut Variable Message Sign (VMS) jatuh di ruas Tol Jakarta-Cikampek KM 15 arah Cikampek pada November 2017 lalu.
Insiden bermula pada pukul 00.00 WIB, saat dilakukan kegiatan pemindahan VMS di KM 15 oleh PT Waskita dengan menggunakan crane. Di titik itu, tengah digarap proyek Jalan Tol Jakarta-Cikampek Elevated.
Namun, karena faktor teknis, crane gagal melakukan pemindahan dan jatuh menutup lajur 1. Dampaknya, empat lajur arah Cikampek sempat tidak dapat dilalui kendaraan.
Kelima, sebuah konstruksi girder pada proyek Tol Pemalang-Batang ambruk akhir Desember lalu. Girder itu hendaknya digunakan sebagai konstruksi jembatan penyeberangan orang (JPO).
Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut. Namun, rekaman video atas peristiwa itu cukup mendapat sorotan masyarakat.
Fenomena Gunung Es
Ketua Masyarakat Infrastruktur Indonesia Harun al-Rasyid Lubis mengatakan, dalam sebuah kasus kecelakaan konstruksi, tidak bisa hanya dilihat dari faktor man-machine.
Salah satu faktor penting dalam sebuah kecelakaan konstruksi yaitu adanya kesalahan sistematis, yang semestinya menjadi dasar terjadinya kecelakaan itu sendiri.
"Ini merupakan fenomena gunung es. Bisa jadi passive factor, yang dalam hal ini pihak manajemen total (penyedia) jasa konstruksi adalah akar permasalahannya. Bukan sekedar active factor atau front liners yaitu pekerja atau teknologi," kata Harun kepada Kompas.com, Selasa (20/2/2018).
Penting bagi penyedia jasa konstruksi untuk melakukan sistem opname secara menyeluruh terhadap manajemen mereka. Termasuk dalam hal ini pendanaan dari penyertaan modal negara dan lembaga keuangan pemerintah.
"Di sinilah pentingnya menjaga iklim kompetisi yang fair dalam industri jasa konstruksi. Bukan sekedar jadi sapi perahan dan kejar tayang penguasa," kata Harun.
Dosen Institut Teknologi Bandung itu menambahkan, sistem opname meliputi semua level manajemen pengawasan. Mulai dari standar prosedur operasional, regulasi, hingga sumber daya manusia (SDM). Serta sistem perbaikan bila terjadi kesalahan kembali.
Waskita sendiri, sebut dia, termasuk salah satu perusahaan pelat merah yang banyak menerima beban proyek yang digagas pemerintah.
Anak usahanya, Waskita Toll Road, misalnya, memiliki hampir sekitar 700 kilometer proyek jalan tol.
"95 persen umumnya greenfield atau baru. Jadi ini lebih ke persoalan manajemen proyek. Mungkin karena kelebihan beban, tapi kekurangan SDM, sistem pengawasan tidak bekerja prima," tuntas Harun.
https://properti.kompas.com/read/2018/02/21/100000621/waskita-catat-rekor-tujuh-kecelakaan-kerja-dalam-tujuh-bulan