Pengembang tidak boleh menggunakan istilah TOD hanya sebagai gimmick bagi para konsumen produk propertinya.
"Yang saya khawatir begini, kalau tidak direncanakan, TOD itu malah jadi bottleneck, mandek. Misalnya tiba-tiba ada satu juta orang yang masuk moda raya transportasi (MRT)," ujar Vice President International Urban Development Association (INTA) Pingki Elka Pangestu kepada Kompas.com, di Jakarta, Rabu (14/2/2018).
Ia mengatakan, istilah TOD jauh lebih rumit daripada yang saat ini banyak orang ketahui. Pingki menggambarkan, rumah dia saat ini berada di kawasan TOD karena sangat dekat dengan rencana stasiun MRT di Sisingamangaraja, Kebayoran Baru.
Saat ini saja meski MRT belum beroperasj, kata dia, mulai banyak pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar stasiun. Ini mengganggu kelancaran arus lalu lintas (lalin).
"Dengan banyaknya komuter dan pedagang, rumah saya terdesak dan tinggal di daerah sana jadi enggak nyaman lagi," kata Pingki.
Di satu sisi, imbuh dia, pengembangan TOD tujuannya mulia, yaitu meningkatkan mobilitas yang kemudian membuat kualitas hidup manusia lebih baik.
Dalam hal meningkatkan mobilitas, ia menambahkan, TOD membuat seseorang tinggal dekat transportasi umum yang terintegrasi sehingga mudah menuju banyak tempat dengan biaya lebih murah dan waktu lebih singkat.
"Kalau sekarang misalnya kita naik kendaraan dari lokasi A ke B butuh waktu 2 jam. Dengan mobilitas yang meningkat, dalam kurun waktu yang sama bisa menjangkau lebih banyak tempat atau dalam radius lebih besar," sebut Pingki.
Adapun dari segi peningkatan kualitas hidup, lanjut dia, sebaiknya TOD juga tidak hanya nyaman bagi pekerja tetapi keluarga yang menempati huniannya.
Jangan sampai, sebagai pekerja ditunjang mobilitiasnya, tetapi keluarga seperti anak dan istri tidak mendapatkan fasilitas yang dibutuhkan seperti kesehatan dan pendidikan.
https://properti.kompas.com/read/2018/02/14/210000821/jika-tak-direncanakan-dengan-matang-tod-berpotensi-sumbat-arus-lalin