Data statistik terbaru mengonfirmasi melambatnya pertumbuhan bisnis Starbucks. Penjualan Starbucks per akhir 2017 hanya bertumbuh dua persen, masih di bawah ekspektasi sejumlah analis.
Selan itu, saham Starbucks (SBUX) juga melorot hampir enam persen per akhir pekan lalu imbas pengumuman turunnya pertumbuhan tahunan gerai kopi tersebut.
Sejumlah pengamat di Negeri Paman Sam memprediksi, pelanggan diperkirakan mulai jenuh dengan sajian menu yang disajikan Starbucks.
Persaingan bisnis minuman juga semakin ketat, sejumlah gerai mampu menjual kopi dan minuman lainnya dengan harga lebih rendah dari Starbucks.
Chief Executive Officer (CEO) Starbucks Kevin Johnson pun punya alasan tertentu terkait lesunya penjualan Starbucks.
Menurut Kevin, melambatnya bisnis Starbucks tidak lepas dari kurang suksesnya penjualan suvenir akhir tahun dan penawaran spesial yang tak mampu menarik minat pelanggan.
Masalah lain yang dipandang sebagai penyebab temaramnya penjualan adalah ketidakmampuan Starbucks untuk menarik pelanggan baru.
Pertumbuhan penjualan di gerai Starbucks cenderung berasal dari belanja pelanggan lama yang lebih banyak, bukan dari hasil meluasnya segmentasi pasar.
Investor tentunya punya pandangan tersendiri mengenai kondisi di atas. Sejak Kevin Johnson mengambil alih posisi CEO dari Howard Schultz pada 2017, saham Starbucks sesungguhnya mulai beranjak sejak saat itu.
Nilai S&P 500 (indeks gabungan saham di Amerika Serikat) Starbucks naik lebih dari 20 persen. Akan tetapi, angka itu masih lebih rendah jika dibandingkan Dunkin’ Donuts dengan 25 persen atau pun McDonald’s yang melonjak 35 persen.
Terbuka lebar
Di balik suatu nestapa, tentunya ada hikmah yang dapat dipetik. Menatap masa depan adalah jalan terbaik untuk bangkit.
Starbucks punya modal kuat untuk kembali garang. Penjualan di China bisa menjadi titik terang. Data menunjukkan, penjualan Starbucks di Negeri Panda merekah.
Penjualan di negara itu menanjak sekitar enam persen per akhir 2017. Menurut Kevin Johnson, hadirnya gerai Starbucks terbesar sedunia di Shanghai berhasil menjadi lumbung baru penghasilan mereka.
Sejumlah analis berpendapat, semestinya investor memberi lebih banyak kredit atas kekuatan Starbucks di China, Korea Selatan, dan sejumlah negara lainnya. Investor selayaknya mengurangi rasa khawatir atas kelesuan Starbucks di negeri asalnya, Amerika Serikat.
"Momentum berlanjut meski mengalami cegukan baru-baru ini. Kami memperkirakan potensi besar masih amat terbuka untuk bisnis Starbucks secara global," ungkap analis Wells Fargo Securities, Bonnie Herzog, seperti dilansir CNN Money.
Stategi teranyar Starbucks juga patut diapresiasi. Perusahaan mulai mengutamakan teknologi dalam menjalankan bisnisnya beberapa tahun terakhir.
Kondisi itu bisa semakin menggeliat di bawah kendali CEO Kevin Johnson, yang notabene pernah berkecimpung di raksasa teknologi Microsoft dan IBM.
Bahkan, Starbucks mulai mempertimbangkan untuk mencoba sejumlah toko tanpa uang tunai di Negeri Paman Sam.
Meski begitu, menurut Direktur Pelaksana GlobalRetail Neil Saunders, Starbucks mesti tetap menggelorakan penjualan di gerai konvensional.
Ia mengatakan, pengunjung masih harus menunggu cukup lama untuk memesan dan mendapatkan minuman mereka. "Pada masa puncak, beberapa toko sibuk, dan pelayanannya amat lambat,” cetus Saunders.
"Meskipun Starbucks menggunakan teknologi dengan baik, kami pikir perlu dicoba lagi bagaimana memanfaatkan teknologi digital untuk memangkas waktu tunggu di gerai,” imbuh dia.
Masa depan Starbucks kini berada di tangan CEO Kevin Johnson dan jajaran manajemennya. Apakah Starbucks dapat segera bangkit dari kondisi sulit atau justru kembali terseok? Patut dinanti.
https://properti.kompas.com/read/2018/01/29/200000121/ada-apa-dengan-starbucks