Adanya keterbatasan kapasitas dan kemampuan yang dimiliki pengawas, serta tekanan terhadap percepatan pekerjaan konstruksi, dapat menjadi salah satu indikator timbulnya kecelakaan kerja.
Seperti pada kasus kecelakaan kerja yang terjadi pada beberapa waktu terakhir. Jatuhnya box girder pada proyek light rail transit (LRT) di Utan Kayu, Jakarta Timur yang terjadi saat Senin (22/1/2018) dini hari.
Contoh lainnya, yaitu kasus ambruknya girder proyek jembatan penyeberangan orang (JPO) pada Tol Pemalang-Batang 30 Desember lalu. Peristiwa itu terjadi saat mayoritas masyarakat libur.
"Kalau kita lihat, kejadiannya itu paling sering pada malam hari atau saat hari libur ya. Jangan hanya karena mengejar ketertinggalan, tapi harus dibarengi dengan keselamatan kerja," kata Ketua Umum Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Konstruksi Indonesia (A2K4I) Lazuardi Nurdin saat diskusi dengan awak media, Selasa (23/1/2018).
Memang, kata dia, ada sistem shift di dalam setiap pekerjaan konstruksi. Namun semestinya, shift tak hanya berlaku bagi para pekerja konstruksi, tetapi juga para pengawas di lapangan.
Pasalnya, sering kali kemampuan seseorang akan menurun ketika mereka harus bekerja hingga larut malam.
"Kalau dia kerja dari pagi, mungkin di sana kita harus evaluasi. Artinya, di situ perlu pengawasan lebih intens lagi, siapa yang mengawasi, tidak bisa hanya diserahkan kepada satu orang," tuntas Lazuardi.
https://properti.kompas.com/read/2018/01/24/172321221/pengawasan-proyek-konstruksi-tak-cukup-dipegang-satu-orang