Kesiapan tersebut, lanjut Maryono, dilandasi realisasi kinerja perseroan selama tiga tahun dalam Program Satu Juta Rumah. BTN telah menyalurkan kredit perumahan untuk lebih dari 1,61 juta unit rumah, terhitung sejak ditunjuk menjadi agen Program Satu Juta Rumah hingga November 2017.
"Pertumbuhan kami jauh di atas rata-rata. Total KPR di 2017 ini sudah Rp 65 triliun untuk(nonsubsidi, sedangkan untuk yang subsidi Rp 68 triliun. Pertumbuhan untuk rumah subsidi bisa mencapain 35 persen dan yang nonsubsidi bisa 11 sampai 12 persen," ujar Maryono, pada diskusi dan temu media bertema 'Membuka Ruang FLPP 2018 untuk mendukung Program Sejuta Rumah di Bogor, Minggu (24/12/2017).
Sejak ditunjuk menjadi bank pembiayaan dalam Program Satu Juta Rumah pada 2015 lalu, lanjut Maryono, BTN mencatatkan realisasi penyaluran kredit perumahan lebih dari target yang ditetapkan.
Realisasi penyaluran pinjaman perumahan BTN pada 2015 misalnya, mencapai 110 persen dari target yang dibidik atau setara 474.099 unit rumah. Lalu, pada tahun berikutnya, dari target 570.000 unit rumah, realisasi penyaluran kredit perumahan BTN telah mencapai 104,5 persen atau setara 595.540 unit rumah.
Sementara sampai November 2017 ini, lanjut dia, BTN juga telah menyalurkan kredit perumahan untuk 549.699 unit rumah. Realisasi ini tercatat melebihi separuh dari total realisasi seluruh agen Program Satu Juta Rumah.
CEO Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengapresiasi langkah BTN membuka ruang untuk kembali menyalurkan dana FLPP mulai 2018 nanti. Dengan kembalinya BTN ke dalam skema FLPP, lanjut dia, akan menambah besar porsi penyerapan kredit rumah.
Terhitung sejak BTN tak lagi menyalurkan FLPP pada 2017 ini, tutur Ali, IPW mencatat sebanyak 33 bank lain penyalur FLPP hanya mengambil porsi sebesar 12,3 persen dari total dana pemerintah tersebut. Sebaliknya, secara total porsi penyalur FLPP masih di tangan BTN, yakni 87,7% dari penyaluran FLPP.
Ali mengaku sempat khawatir, dengan belum terlibatnya BTN dalam penyaluran FLPP 2018, penyerapan FLPP akan merosot. Data November 2017 mencatat penyaluran FLPP baru mencapai 43,06 persen dari target atau hanya sebanyak 17.227 unit.
Angka tersebut, lanjut Ali, anjlok 61,8 persen secara tahunan. Dari nilai penyaluran pun terpantau merosot 55,6 persen dari Rp 4,42 triliun pada November 2016 menjadi hanya Rp1,97 triliun di bulan yang sama tahun ini.
Menurut Ali, banyak bank enggan ikut menyalurkan KPR subsidi lantaran kompleks dan rumitnya mekanisme hingga tersendatnya pencairan dana dari pemerintah. Selain itu, dengan nilai kredit yang relatif kecil membuat bank harus mengeluarkan effort lebih dibandingkan penyaluran kredit untuk segmen menengah ke atas yang terhitung lebih menguntungkan.
Kepala Ekonom BTN Winang Budoyo, narasumber diskusi tersebut, menambahkan bahwa ke depan sektor perumahan di Indonesia masih memiliki peluang besar untuk terus dikembangkan. Adanya dukungan pemerintah, bonus demografi, serta kebijakan relaksasi loan-to-value Bank Indonesia (LTV BI) terus mendorong pertumbuhan KPR serta menjaga kualitas kredit.
Terhitung sejak menyalurkan FLPP dalam Program Satu Juta Rumah, kinerja BTN selama tiga tahun terakhir membuat harga saham BBTN melesat sebesar 191 persen. Kenaikan tersebut jauh meninggalkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang tumbuh di level 19% untuk periode yang sama.
Demografi
Dirut BTN Maryono memastikan adanya potensi pertumbuhan kredit di 2018 meskipun ada kekhawatiran sebagian pengamat tentang tahun politik (2018-2019) yang berurutan dari pemilihan kepala daerah (pilkada) ke pemilihan presiden (pilres).
Maryono juga mengatakan bahwa prediksi penurunan properti tidak 100 persen benar. Selama ini pertumbuhan kredit hunian tetap membaik.
"Karena pertumbuhan kredit untuk hunian bersubsidi bisa mencapai 35 persen dan yang nonsubsidi bisa mencapai 11 sampai 12 persen. Di saat Pemerintah sibuk mendorong pembangunan infrastruktur, pertumbuhan kredit selalu di atas pasar," kata Maryono.
Kepala Ekonom BTN Winang Budoyo menyatakan sepakat dengan Maryono. Bonus demografi akan menjadi peluang bagi pertumbuhan ekonomi secara khusus, dan properti hunian secara umum.
Hal itu terutama didukung dengan naiknya jumlah tenaga tenaga produktif di Indonesia yang jumlahnya saat ini kurang lebih 71 juta orang dan akan naik dua kali lipat menjadi 142 juta anak muda atau generasi meilenial.
"Kami sadar ada perubahan perilaku pasar dari segmen yang besar ini. Pola spending uang berubah dari product base spending ke experince spending. Mereka (kaum milenial) harus merasakan dulu, lalu lihat produknya, dan atau mendapat rekomendasi dari orang lain terkait profuk yang akan dibelinya. Mereka tidak mudah percaya iklan yang disuguhkan, jadi harus benar-benar dari pengalaman langsung konsumen," ujar Winang.
Winang memahami bahwa anak-anak milenial lebih memilih menghabiskan uangnya untuk berwisata, makan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pengalaman, bukan aset. Tapi, hal itu seiring waktu akan segera berubah.
Pada akhirnya, lanjut Winang, generasi milenial akan tetap butuh hunian yang tentu sesuai kebutuhan dan perilakunya yang berbeda dari generasi sebelum mereka. Namun, hunian itu harus sangat sesuai ciri khasnya yang tak mau susah dan serba cepat. Maka, yang cocok adalah apartemen, dalam hal ini apartemen terintegrasi dengan transit oriented development atau TOD. Maka, harus dibangun dekat dengan shelter moda transportasi umum.
"Mereka tak butuh apatemen mewah. Yang penting di lingkungan harus ada internet (WiFi) dan tempat nongkrong. Memang, tidak semua anak-anak itu akan berpikir beli rumah. Maka itu, kini disiapkan apartemen-apartemen di dekat stasiun commuter line TOD, baik itu apartemen subsidi maupun nonsubsidi," tambah Winang.
https://properti.kompas.com/read/2017/12/27/060000421/btn-pastikan-kembali-salurkan-flpp-mulai-2018