Namun, lebih jauh lagi, kurator harus menyajikan ide dan menyulut pemikiran baru bagi para arsitek global maupun dalam negeri.
"Pameran harus mengingatkan bahwa arsitektur kita kaya bukan karena bentuknya, tapi karena ada nilai di belakang itu," ujar Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jakarta Stevanus J Manahampi atau Steve saat berbincang dengan wartawan, Kamis (14/12/2017).
Steve mencontohkan, partisipasi Indonesia pertama kali di ajang yang sama pada 2014 lalu. Saat itu, tema yang diangkat adalah pertukangan.
Kurator Indonesia pun mengangkat bagaimana pun bentuk, dan materialnya, arsitektur Indonesia dibangun dengan craftsmanship.
Seperti bangunan Joglo dan Gadang yang sama-sama dibentuk dari kayu tetapi strukturnya bisa jauh berbeda tergantung keahlian tukang.
Fungsi arsitektur juga mengikuti budaya. Steve menggambarkan, rumah asli orang Sumba jauh berbeda dengan rumah Joglo.
Rumah asli Sumba memiliki ciri khas dapurnya yang berada di tengah.
Nah, terkait Paviliun Indonesia di Venesia nanti tujuannya bukan hanya menampilkan arsitektur Indonesia kepada dunia.
Namun, juga sekaligus mengingatkan arsitek lokal untuk tidak harus meniru-niru barat dalam merancang bangunan baru.
"Kalau mau menggali sendiri, sebenarnya banyak yang bisa dilakukan," kata Steve.
Dalam ajang bergengsi di Venesia mendatang, perwakilan Indonesia akan menampilkan Sunyata: The Poetics of Emptiness.
Penampilan ini adalah interpretasi dari tema FreeSpace yang telah ditentukan oleh kurator utama Yvonne Farrel dan Shelley McNamara dari Grafton Architects, Irlandia.
Menggunakan kertas sebagai material utama, Pavuliun Indonesia merupakan abstraksi dari konsep kekosongan yang memiliki beragam wujud dan rupa di arsitektur Indonesia.
https://properti.kompas.com/read/2017/12/17/165020921/tidak-hanya-beragam-arsitektur-indonesia-juga-bernilai