Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Mengharukan di Balik Tutupnya Toko-toko Ritel...

Secara global, termasuk Indonesia, kelesuan ritel konvesional terus memakan korban. Satu per satu peritel mesti merelakan gerainya gulung tikar.

Sejatinya, bukan hanya peritel yang bersedih atas kondisi itu, tetapi juga dialami oleh para penggemar sensasi berbelanja di toko. Merekalah kaum urban yang masih menikmati pesona memilah barang secara langsung dan konkret.

Beginilah sebagian kisah antara peritel yang menolak terlibas era disrupsi dan pembeli yang kehilangan toko kesayangannya. Menelisik cerita di balik tutupnya toserba Sears di Amerika Serikat.

Alkisah, setiap tahun di kala Black Friday, Angela Buzatto selalu menyempatkan diri untuk datang ke toserba Sears, sebuah toko favoritnya sejak saban hari.

Ia senantiasa membeli dua mesin penyedot debu baru, dengan potongan harga ekstrem, untuk bisnis pembersihan rumah miliknya. Tahun ini, Angela berencana memborong empat buah mesin penyedot debu.

Namun, Angela tak dapat lebih bersedih dari hari itu. Sears di Phillipsburg Mall mulai mengobral seluruh barangnya, sebuah pertanda toko bakal berhenti beroperasi.

Selain membeli penyedot debu yang harganya super miring, ia juga membelikan putrinya yang berusia 8 tahun sebuah gaun putih berkilau seharga 24 dollar AS (sekitar Rp 320.000) dan sepasang sepatu biru seharga 10 dollar AS (sekitar Rp 135.000).

Hari Jumat lalu merupakan momen Black Friday untuk tahun ini. Sebagai hari belanja kelas wahid di Amerika Serikat, pesona Black Friday tak pernah pudar hingga beberapa tahun lalu.

Tempat parkir selalu dipenuhi kendaraan para pengunjung yang bersiap memburu barang-barang dengan harga menggiurkan. Antrean pengunjung telah mengular jauh sebelum toko mulai buka.

Akan tetapi, semua pemandangan itu sirna. Angela kini berdiri di lorong redup Phillipsburg Mall. Di sebelah toko Sears, tampak pula sejumlah peritel lainnya yang juga tertatih. Deretan etalase kosong terlihat pada toko-toko di sana.

Turbulensi

Adegan kelam itu merupakan simbol kecil dari sulitnya tantangan yang dihadapi toko ritel konvesional negeri adidaya saat ini.

Sejumlah analis memprediksi, peritel konvensional bakal menutup toko lebih banyak tahun ini. Tekanan belanja daring, ditambah sengkarut utang yang dialami peritel, telah menyebabkan gugurnya toko ritel.

Pada kuartal ketiga ini, setidaknya 6.752 gerai direncakan akan gulung tikar. Itu pun belum termasuk jumlah toko kelontong maupun restoran yang mungkin juga tutup, mengacu data International Council of Shopping Centres.

Kondisi masyarakat Amerika Serikat saat ini sesungguhnya baik, dalam artian tingkat pengangguran berada di level rendah, pasar saham melonjak, dan kepercayaan konsumen tinggi.

Penjualan liburan akhir tahun pun diproyeksikan meningkat sebanyak 4 persen dari tahun lalu, menjadi 682 miliar dollar AS, mengacu proyeksi Federasi Ritel Amerika Serikat.

Namun, hal positif itu baru hadir saat peritel tengah mengalami situasi rentan. Para peritel sedang mencoba beradaptasi dengan model bisnis baru, dari sebelumnya mengoperasikan ratusan toko di mal pinggiran kota menjadi lebih “zaman now”.

Menolak senja kala

Sebagai peritel legendaris, Sears berupaya bangkit dari situasi sulit. Meski penjualan turun dan harga saham menjadi murah meriah, di bawah 4 dollar AS (sekitar Rp 50.000), mereka tak ingin tinggal sejarah.

Juru bicara Sears mengatakan, toko-toko yang sedang proses penutupan seperti di Phillipsburg, bukanlah "representasi yang adil dari pengalaman belanja Sears saat ini”.

Perusahaan itu juga bekerja sama dengan Uber, yang mana pengemudi dapat diskon signifikan saat belanja di Sears.

"Kami bertempur habis-habisan," ungkap Chairman Sears Edward Lampert dalam sebuah pernyataan resmi awal tahun ini.

Sebagai upaya mengurangi beban operasional, penutupan toko adalah kebijakan pahit yang mesti dijalani Sears. Pada awal November ini, Sears telah mengumumkan bakal menutup toko di Phillipsburg.

Ketika toko itu dibuka pukul 7 pagi untuk Black Friday terakhir kalinya, tempat parkir di depan kosong. Hanya ada minivan dan truk pikap putih.

Spanduk merah dan kuning bertuliskan "Store Closing Sale" dan "Nothing Held Back" tergantung di langit-langit toko.

Syahdan, syal itu menarik perhatian Elaine Freeman, yang tengah mencari hadiah Natal bersama adiknya.

Kakak beradik itu tumbuh kembang bersama Sears. Karena itu, mereka ingin menunjukkan kesetiaan mereka dengan berbelanja di Sears untuk Black Friday terakhir.

Memilih setia

Freeman mengatakan, ia rutin membeli barang-barang di Sears yang tak dapat ditemukan di peritel lainnya. Baru minggu ini, kata dia, keponakannya membutuhkan pemanggang yang cukup besar untuk kalkun, sebagai persiapan untuk perayaan Thanksgiving.

"Ini Black Friday, orang-orang berbelanja di tempat lain, tetapi kami memilih untuk berada di sini," cetus Freeman.

Sekitar pukul 07.45 waktu setempat, Tyler Kwiecinski dan Zoe Vallese, berjalan ke toko Sears dan menuju ke bagian peralatan dapur.

Kedua pemuda tersebut mengaku jarang mengunjungi Sears. Akan tetapi, saat mereka tengah mengunjungi toko video gim, mereka tergoda dengan tanda “Store Closing” kuning besar yang terpajang di luar Sears.

"Ayah saya pernah mengatakan bahwa Sears seperti Walmart, sebelum Walmart tumbuh besar,'' kata Kwiecinski, yang pada akhirnya meninggalkan toko tanpa membeli apapun.

Pengunjung lainnya, Nancy Hartman, mengaku telah rutin berbelanja di Sears saat Black Friday. Pada hari itu, Hartman mengintip ke satu sudut etalase kosong dan gelap di sudut toko Sears.

"Saya membawa cucu saya ke mal ini baru-baru ini dan dia bertanya kepada saya mengapa toko itu tutup?” kenang Hartman.

"Ini menyedihkan,” sambung dia.

Sekitar 65 mil dari Phillipsburg Mall, Sears di kawasan Wayne justru menampilkan wajah berbeda. Toko itu memiliki rak etalase baru dan lampu gemerlap. Eksteriornya pun dicat segar bercorak putih dan biru.

Di sana, Victoria Setzer tengah berbelanja pakaian anak laki-laki saat Black Friday. Orang tuanya bertemu pertama kali di Sears pada medio 1960-an, tatkala ibunya bekerja di sana.

"Ada begitu banyak sejarah dan tradisi, ini adalah bagian dari Americana," katanya.

"Saya harap ini bertahan. Namun, saya tidak tahu apakah mereka bisa melakukannya,” tuntas Setzer.

https://properti.kompas.com/read/2017/11/26/214550021/kisah-mengharukan-di-balik-tutupnya-toko-toko-ritel

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke