JAKARTA, KompasProperti - Pertumbuhan harga tanah di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Bahkan di Jakarta, kenaikan harga tanah disebut mencapai 33 persen setiap tahunnya.
Kenaikan itu tertinggi bila dibandingkan kenaikan harga tanah di kota lain di negara-negara Asia.
Menurut Wakil Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Hari Ganie, kenaikan harga tanah menjadi momok bagi pengembang yang ingin mengembangkan kawasan hunian. Terutama, pengembang yang bergerak di sektor perumahan subsidi.
"Kenaikan harga tanah itu hantu yang sangat mengganggu kami di sektor properti," kata Hari dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (21/11/2017).
Dari sekitar 3.400 pengembang yang tergabung di dalam REI, 80 persen di antaranya merupakan pengembang rumah subsidi.
Dari sisi harga, pemerintah telah mematok harga tertinggi rumah subsidi yang bisa dijual pengembang kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Meski pun ada kenaikan harga setiap tahunnya, namun tidak boleh melebihi laju inflasi.
"Sementara harga tanah itu (kenaikannya) tidak sesuai inflasi, jauh dari inflasi kalau kita lihat," ucapnya.
Akibatnya, banyak pengembang rumah subsidi pada akhirnya memilih lokasi yang jauh dari pusat kota. Namun, ada persoalan lain yang muncul dengan membangun rumah yang jauh dari pusat kota ini.
"Jauh dari pusat kota berarti jauh dari infrastruktur. Bisa bangun rumahnya, tapi PDAM tidak sampai sana, sekolah dan fasilitas lain jauh. (Makanya kenaikan harga) itu berdampak langsung terhadap sektor properti," tutur Hari.
Kenaikan harga tanah, juga dirasakan oleh pengembang hunian yang bergerak di sektor komersial.
Lama-kelamaan, jumlah pengembang hunian di sektor ini akan semakin mengerucut ke level hunian dengan harga selangit untuk kalangan elite yang tidak terlalu terpengaruh kenaikan harga.
"Tapi level middle up yang terpengaruh harga begitu akan semakin berat. Daya beli akan jadi isu (baru) yang muncul," tutupnya.
https://properti.kompas.com/read/2017/11/21/220000321/kenaikan-harga-tanah-momok-rumah-murah