Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Inikah Awal Runtuhnya Kedigdayaan Ritel Amerika Serikat?

Terguncangnya ritel juga telah terasa hingga negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Negara pimpinan Donald Trump itu mulai merasakan “keringnya” lahan ritel, yang pada eranya sedemikian digdaya.

Sebagai bukti sederhana, hingga awal kuartal ketiga 2017, terdapat 3.000 toko ritel baru di Amerika Serikat. Namun, jumlah itu masih lebih kecil bila dibandingkan jumlah toko yang tutup yakni 6.800 gerai.

Sebagaimana diwartakan Bloomberg, Rabu (8/11/2017), selisih jumlah toko yang buka dan tutup tersebut agak mengherankan jika berkaca pada tingkat kepercayaan konsumen yang tinggi, rendahnya tingkat pengangguran, dan geliat perkembangan ekonomi Amerika Serikat saat ini.

Lantas, masalah apa yang sesungguhnya terjadi dengan ritel Amerika Serikat? Masih adakah harapan?

Laporan Bloomberg kemudian menyebutkan bahwa permasalahan ritel Amerika Serikat cukup kompleks. Pudarnya ritel Hollywood tidak mudah disimpulkan begitu saja sebagai akibat invasi Amazon yang berhasil mencuri pangsa pasar ritel konvensional.

“Akar masalahnya adalah rantai pasokan ritel kelebihan beban sebagai dampak utang yang menumpuk. Terdapat miliaran pinjaman dalam laporan neraca mereka dan menahan beban utang itu amatlah sulit, bahkan untuk rantai pasokan ritel yang sehat,” demikian tulis Bloomberg.

Efek lanjutan berpotensi mengalir jauh dan meluas hingga pelosok. Pekerja upah rendah bisa jadi kian terpinggirkan ditambah anjloknya pajak daerah, hilangnya saham investor, dan seterusnya.

Jika situasi saat ini sudah dapat dianggap sebagai keruntuhan ritel maka apa yang terjadi selanjutnya bakal semakin menakutkan.

Tertatih

Pada tahun ini, beberapa peritel yang tengah berjuang mengatasi paceklik memang telah mampu menghindari gulung tikar dengan melakukan refinancing.


Peritel mainan itu mengejutkan investor dengan mengajukan kebangkrutan pada September lalu. Bahkan, apa yang terjadi pada Toys R Us tercatat sebagai rekor kebangkrutan terbesar ketiga di Amerika Serikat.

Apa yang mengkhawatirkan juga ialah risiko utang yang harus dibayar peritel saat jatuh tempo lima tahun ke depan.

Beberapa peritel seperti toko perhiasan remaja Claire's Stores Inc. memiliki pinjaman 2 miliar dollar AS sejak 2007 dari perusahaan ekuitas swasta Apollo Global Management LLC. Pinjaman itu bakal jatuh tempo pada 2019 dan saat ini mereka masih memiliki 1.600 toko di Amerika Utara.

Memang, utang yang jatuh tempo tahun ini hanyalah 100 juta dollar AS. Namun, proporsinya meningkat menjadi 1,9 miliar pada 2018, menurut Fitch Ratings Inc.

Jumlah utang ritel yang dinilai berisiko juga meningkat. Sejak tahun lalu, obligasi dengan imbal hasil tinggi 20 persen menjadi 35 miliar dollar AS dan utang industri naik 15 persen menjadi 152 miliar dollar AS.

Jika dianalisis, peritel berani berutang banyak karena tingkat suku bunga secara historis berada pada level rendah. Utamanya, pasca krisis keuangan melanda Amerika Serikat beberapa waktu silam.

Hal Itu membuat investasi melalui utang meskipun dengan tingkat pengembalian yang tinggi, menjadi sedemikian menggoda bagi peritel.

Namun, langkah taktis The Fed menaikkan suku bunga dapat meredakan permintaan utang saat ini. Itu dapat membuat peritel lebih memilih memenuhi kewajiban utangnya saat ini.

Kartu kredit

Selain sengkarut utang, masalah kartu kredit juga menimbulkan kekhawatiran akan runtuhnya ritel Paman Sam.

Selain itu, Citigroup Inc., penerbit kartu kredit ternama dunia, mengatakan bahwa portofolio kredit pada sektor ritel mulai menurun. Alasan logis antara lain pembeli menahan penggunaan kartu kredit saat belanja untuk menghindari risiko tiba-tiba toko tersebut tutup.

Efek lanjutan dari pengereman kartu kredit adalah pukulan bagi sektor yang selama ini banyak dihuni oleh masyarakat Amerika berpendapatan rendah. Statistik terbaru menunjukkan, tenaga penjualan (sales) dan kasir di negeri Paman Sam mencapai 8 juta orang.

Amerika Serikat memiliki pengalaman pahit terkait hilangnya pekerjaan masyarakat ini. Pada puncak krisis keuangan beberapa tahun lalu, sebanyak 1,2 juta pekerja toko kehilangan mata pencarian.

Sejak krisis itu dapat teratasi, lapangan kerja perlahan meningkat, termasuk di sektor ritel. Tren positif terhenti tahun ini tatkala 101.000 pekerjaan di toko telah hilang akibat gugurnya peritel.


Kala itu, semua bangunan “disulap” jadi toko dan memincut perhatian pemberi modal ventura. Alhasil, toko-toko ritel bertaburan di negara berpenduduk sedikitnya 300 juta orang itu. 

"Quo vadis"

Saat ini, kedigdayaan ritel Amerika Serikat tengah redup. Pada kuartal ketiga ini, setidaknya 6.752 gerai direncakan akan gulung tikar. Itu pun belum termasuk jumlah toko kelontong maupun restoran yang mungkin juga tutup, mengacu data International Council of Shopping Centres.

Sejauh ini, peritel pakaian paling merana dengan capaian 2.500 toko tutup. Toko serba ada (department store) setali tiga uang. Macy's, Sears, J.C. Penney Co terus merampingkan gerainya. Secara keseluruhan, sekitar 550 department store ditutup atau setara luas 43 juta kaki persegi.

Negara-negara bagian seperti Ohio, West Virginia, Michigan, dan Illinois termasuk yang paling terpukul dengan penurunan lapangan kerja ritel selama beberapa dekade terakhir, dan sekarang kesengsaraan itu cenderung menyebar.

Banyak negara bagian, contohnya Nevada, Florida, dan Arkansas, telah sedemikian mengandalkan ritel untuk pertumbuhan pekerjaan, sehingga mereka dapat merasakan pukulan telak akibat keruntuhan ritel ini.

Pada akhirnya, apakah ritel Amerika Serikat dapat bangkit dari keterpurukan atau justru kian terperosok pada era lebih kelam? Patut dinanti bersama.

https://properti.kompas.com/read/2017/11/09/123000321/inikah-awal-runtuhnya-kedigdayaan-ritel-amerika-serikat-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke