Kondisi di atas tentunya menimbulkan sejumlah tantangan perkotaan. Kemacetan lalu lintas, misalnya. Jika pertumbuhan penduduk tak diikuti transportasi publik memadai, dampaknya adalah ledakan jumlah kendaraan pribadi. Kemacetan pun tak terelakkan.
Berkaca pada fenomena tersebut, kota-kota modern dunia mulai berbenah menuju kota ramah pejalan kaki (walkable city).
Mengutip laman New Urbanism, hadirnya jalur khusus pejalan kaki didukung lingkungan yang baik, misalnya dekorasi jalan, bangku, maupun toko-toko, dapat membuat warga merasakan kualitas maksimal kehidupan.
Secara ringkas, pejalan kaki sudah semestinya berada di tempat terhormat di sebuah kota. Mereka memiliki hak yang sama sebagai penduduk, tak beda dengan pesepeda, penumpang bus, maupun pengemudi mobil.
Dalam mewujudkan kesetaraan bagi pejalan kaki tersebut, kota modern dunia melaksanakan berbagai cara. Ambil contoh, kota Seoul di Korea Selatan.
Pada Mei lalu, pemerintah setempat telah meresmikan sebuah ruang pejalan kaki bernama Seoullo 7017. Memiliki panjang 1.024 meter, jalan layang itu kini menjadi “surga” bagi warga Seoul untuk mencari udara segar.
Dulunya, Seoullo 7017 merupakan jalan layang kendaraan untuk kurun waktu 45 tahun. Kawasan itu lama terisolasi seperti sebuah pulau, dikelilingi jalan untuk mobil.
Seoullo 7017 kini berperan menghubungkan tempat-tempat wisata terdekat seperti Gerbang Sungnyemun, Myeong-dong, dan Pasar Namdaemun.
Sedikitnya 40.000 orang menyusuri jalan itu setiap harinya. Kedekatan lokasi Seoullo 7017 dengan stasiun Seoul menjadi keuntungan tersendiri, yang mana diperkirakan terdapat pergerakan 390.000 komuter di sekitar area itu.
Rombak peta
Lain Seoul, lain pula Singapura. Negara tetangga Indonesia ini berupaya memanjakan pejalan kaki dengan cara tersendiri. Merombak peta mass rapid transit (MRT) jadi jurus andalan.
Dikenal sebagai negara dengan sistem transportasi massal mumpuni, Singapura juga memedulikan akses menuju transportasi tersebut.
Seperti dilansir Straits Times, Selasa (12/9/2017), perombakan peta bertujuan memudahkan warga dalam memilih rute tercepat ke suatu destinasi.
Dengan kian rapatnya jaringan MRT di pusat kota, stasiun-stasiun yang berbeda jalur (line) pun menjadi dapat ditempuh dengan berjalan kaki.
Kondisi itu tentunya menguntungkan penumpang. Mereka dapat lebih cepat mencapai tujuan dengan berjalan kaki, dibandingkan harus transit berpindah jalur MRT.
Peta jaringan baru itu diberi nama Walking Train Map (WTM) dan direncakan terpasang di 19 stasiun MRT, termasuk Bugis, City Hall, Chinatown, Dhoby Ghaut, Esplanade, Little India, dan Raffles Place.
“Sulap” ala London
London dapat menjadi contoh kekinian bagaimana suatu kota memanjakan pejalan kaki.
Wali Kota London Sadiq Khan belum lama ini mengumumkan penutupan jalan utama di pusat kota London untuk kemudian difungsikan sebagai zona khusus pejalan kaki.
Tak berhenti di sana, rencana tersebut dilaksanakan beriringan dengan pembatasan lalu lintas untuk kendaraan bermotor di sepanjang Jalan Oxford pada akhir 2018.
Rancangan desain menunjukkan, zona pejalan kaki yang membentang dari Oxford Circus ke Selfridges tersebut bakal bertabur lukisan warna-warni di trotoar dan juga aspal.
"Ini adalah momen yang sangat menyenangkan bagi London," ujar Khan, seperti dilansir Dezeen, Senin (6/11/2017).
"Jalan Oxford cukup popular di dunia dan dikunjungi jutaan pengunjung setiap tahunnya. Dalam waktu setahun ke depan, bagian ikonik di barat Oxford Circus berubah menjadi jalur pejalan kaki yang bebas dari lalu lintas kendaraan,” imbuh Khan.
Ke depan, dengan membuat zona pejalan kaki secara permanen, diharapkan lebih banyak orang mengunjungi Jalan Oxford. Pada akhir 2018, pemerintah juga dijadwalkan membuka jalur kereta baru di kawasan tersebut.
Bagaimana Jakarta?
Jakarta, sebagai ibu kota negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, turut menyita perhatian global terkait fasilitas pejalan kaki.
The New York Times, misalnya. Pada Agustus lalu, laman tersebut menyoroti keengganan warga Jakarta berjalan kaki akibat infrastruktur tidak memadai.
Mulai dari trotoar yang buruk, entah tidak rata atau retak-retak. Selain itu, hilangnya penutup selokan, kabel-kabel berhamburan, serta agresifnya pengendara motor turut menggerus keengganan warga Jakarta berjalan kaki.
Jika begitu, maka sudah selayaknya Jakarta sebagai kota metropolitan dapat berbenah diri.
Bukan lagi soal apakah pejalan kaki membuat macet atau tidak, tetapi lebih dari itu yakni menyemai keberpihakan yang sama bagi segenap warga. Dengan memperbaiki fasilitas pejalan kaki, misalnya.
Hal tersebut krusial untuk mengejar langkah cepat negara lain dalam memuliakan pejalan kaki. Jika terlambat, bukan tak mungkin Jakarta hanya menjadi penonton di tengah silaunya pesona kota modern dunia…
https://properti.kompas.com/read/2017/11/08/230000521/kota-kota-dunia-berlomba-manjakan-pejalan-kaki-bagaimana-jakarta-