Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kecelakaan Tol Paspro Makan Korban, Bisakah Waskita Dipidana?

JAKARTA, KompasProperti - Kecelakaan konstruksi Jalan Tol Pasuruan-Probolinggo (Paspro) yang dibangun PT Waskita Karya (Persero) Tbk, Minggu (29/10/2017), menelan korban jiwa.

Seorang pegawai Waskita, Heri Sunandar, meninggal dunia setelah tertimpa girder yang dipasang untuk konstruksi flyover tol.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bergerak cepat. Mereka langsung menerjunkan tim untuk mengevaluasi desain, uji, dan metode kerja yang dilakukan Waskita.

Selain itu, aparat kepolisian juga telah menerjunkan Tim Laboratorium Forensik untuk menyelidiki penyebab kejadian.

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono meminta semua pihak menunggu hasil penyelidikan yang tengah dilakukan aparat kepolisian dan tim dari Kementerian PUPR.

"Makanya sedang diselidiki untuk unsur pelanggarannya, mungkin oleh polisi. Secara teknis Pak Dirjen Bina Marga (Arie Setiadi) sudah menurunkan timnya di bawah Direktur Jembatan, karena ini kan flyover untuk bisa melihat desainnya, metode kerjanya, sudah betul atau belum," kata dia di kantornya, Senin (30/10/2017).

Basuki enggan menduga apakah ada pelanggaran hukum atas peristiwa ini sebelum ada kepastian dari aparat kepolisian.

Demikian halnya soal kemungkinan adanya dugaan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

"Itu (di dalam UU) ada namanya gagal bangunan, gagal konstruksi. Ini dari yang namanya kecelakaan kan. Kecelakaan kerja. Nanti kita tunggu hasil dari polisi," kata dia.

Untuk diketahui, di dalam UU Jasa Konstruksi diatur standar keamanan, keselamatan, kesehatan dan keberlanjutan sebuah pekerjaan konstruksi yang harus dipedomani oleh setiap kontraktor pelaksana proyek.

Pengaturan itu dirinci lebih teknis berdasarkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang mengacu pada Peraturan Menteri PU Nomor 5/2014 tentang Pedoman SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum.

Kendati demikian, UU Jasa Konstruksi tidak mengatur lebih detail bagaimana bila kecelakaan kerja terjadi hingga menyebabkan seseorang meninggal dunia.

Di dalam UU tersebut hanya disebutkan bahwa sebuah bangunan dinyatakan gagal bila tidak berfungsi dan/atau runtuh setelah bangunan diserahkan.

Sementara itu, Pelaksana Tugas Dirjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR Danis H Sumadilaga menduga peristiwa jatuhnya girder tersebut terjadi secara tidak disengaja. Meski demikian, ia juga masih menunggu hasil penyelidikan yang tengah dilakukan.

"Saya rasanya kan, kalau saya ya tidak disengaja ya. Beritanya masih macam-macam ya, tergeser atau apa, tertiup, goyang dan sebagainya," kata Danis kepada KompasProperti, Selasa (31/10/2017).

Dari informasi sementara, ia menambahkan, korban berada di bawah girder saat proses pemasangan dilakukan. Secara prosedural, menurut dia, hal itu tidak diperbolehkan.

"Tapi saya tidak mau berandai-andai (atas peristiwa itu)," kata dia.

Ketua Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia Davy Sukamta menilai, peristiwa kecelakaan itu tak semestinya terjadi.

Pekerjaan konstruksi yang dilakukan Waskita dalam pelaksanaan proyek tersebut relatif sederhana, bila dibandingkan proyek lain seperti Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta atau flyover Cipulir.

Davy pun menduga ada kecerobohan yang dilakukan Waskita saat pekerjaan dilaksanakan.

Kendati demikian, untuk memastikan apakah ada dugaan pelanggaran atau tidak, hal itu sepenuhnya menjadi ranah aparat penegak hukum.

"Jadi memang harus diurut karena harus tahu persis kondisi lapangan saat pemasangan itu gimana," kata dia saat dihubungi KompasProperti, Senin (30/10/2017).

Sementara itu, ia menambahkan, bila mengacu UU Jasa Konstruksi maka kontraktor pelaksana tidak dapat dijerat pidana, bila kegagalan konstruksi terjadi saat pekerjaan masih berlangsung.

"Kalau soal pidana tidak diatur. Tapi kalau ada yang meninggal, cukup berat jadi masalah," ujarnya.

Mantan Direktur Jenderal Bina Konstruksi Yusid Toyib, sebelumnya juga pernah mengatakan hal senada. Kegagalan konstruksi tidak dapat dipersoalkan, kecuali saat bangunan sudah selesai dan ditemukan adanya kegagalan.

"Kalau ada kegagalan konstruksi, polisi dan jaksa tidak masuk kecuali dalam pelaksanaan konstruksi ada pidana, ada orang meninggal, operasi tangkap tangan, itu lain," ujar Yusid saat Sosialisasi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Jakarta, Kamis (9/3/2017).

Menurut Yusid, dalam dunia konstruksi ada kontrak yang mengikat antara kedua belah pihak, yakni pengguna dan penyedia jasa.

Jika saat proses konstruksi ditemukan ketidaksesuaian dengan apa yang ada di dalam kontrak, maka penyelesaiannya tidak di pengadilan.

"Paling tinggi di arbitrase. Tapi, sebelum itu, kita lakukan mediasi, konsiliasi. Sebelum itu juga dibuat dewan sengketa untuk mengakurkan kedua belah pihak," sebut Yusid.

Dewan sengketa dibentuk oleh kedua belah pihak, berdasarkan kesepakatan sejak pengikatan jasa konstruksi.

Sementara itu, lanjut Yusid, jika terjadi kegagalan bangunan saat proses konstruksi selesai, polisi juga tidak serta-merta masuk dalam masalah tersebut.

Nantinya, dari Kementerian PUPR bisa membentuk dewan penilai, untuk menilai siapa yang bertanggung jawab atas kegagalan tersebut, apakah pengguna jasa, penyedia jasa, atau ada faktor alam.

"Polisi nanti tinggal menerima hasil dari dewan penilai untuk menindaklanjuti masalah," kata Yusid.

https://properti.kompas.com/read/2017/10/31/090908021/kecelakaan-tol-paspro-makan-korban-bisakah-waskita-dipidana

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke