Besarnya jumlah penduduk memunculkan beragam tantangan, entah kemacetan, kemiskinan, kebutuhan rumah, dan lain sebagainya.
Tak kalah krusial, sesungguhnya ada kebutuhan lain dari suatu kota yaitu hadirnya jalur pejalan kaki (pedestrian) yang layak. Kebutuhan akan aspek tersebut acap kali terabaikan oleh pemerintahan suatu kota.
Orientasinya terkadang lebih condong kepada kendaraan sebagai tulang punggung mobilitas. Padahal, dengan hadirnya jalur bagi pejalan kaki maupun pesepeda dapat membuat suatu kota lebih humanis dan terpenting adalah mengurangi polusi udara.
Menyadari tuntutan masa depan tersebut, dewasa ini mulai berkobar konsep bernama walkable urbanism. Secara sederhana, alih-alih terus membangun jalan lebar untuk lalu lintas kendaraan, suatu kota juga mesti ramah pejalan kaki. Ini menjadi suatu standar global baru untuk pembangunan perkotaan.
Perencana kota dari berbagai wilayah, misalnya Kopenhagen, London, Paris, atau Barcelona mulai memprioritaskan pejalan kaki, dan terus mengembangkan berbagai gagasan tentang bagaimana membuat kota yang lebih walkable.
Kota Seoul di Korea Selatan juga sejalan dengan gagasan walkable urbanism. Sebagai ibu kota negara, Seoul mengembangkan dan menerapkan kebijakan untuk menciptakan pedestrian lebih masif.
Upaya teranyar yang dilakukan pemerintah Seoul adalah menciptakan Seoullo 7017, sebuah jalur khusus pejalan kaki sepanjang 1.024 meter yang dibuat melayang.
Diresmikan pada Mei lalu, Seoullo 7017 dulunya adalah jalan layang kendaraan untuk kurun waktu 45 tahun. Kawasan tersebut lama terisolasi seperti sebuah pulau, dikelilingi jalan untuk mobil.
Penduduk setempat mengalami ketidaknyamanan akibat kurang baiknya lingkungan perumahan dan kondisi infrastruktur yang tak memadai.
Dibandingkan membongkar jalan layang, pemerintah Seoul justru “menyulapnya” menjadi jalur pejalan kaki yang nyaman dan aman.
Saat ini, Seoullo 7017 juga berperan menghubungkan tempat-tempat wisata terdekat seperti Gerbang Sungnyemun, Myeong-dong, dan Pasar Namdaemun.
Saat ini, rata-rata 40.000 orang menyusuri jalan itu setiap harinya. Kedekatan lokasi Seoullo 7017 dengan stasiun Seoul menjadi keuntungan tersendiri, yang mana diperkirakan terdapat pergerakan 390.000 komuter di sekitar area itu.
Sementara itu, "7017" pada nama Seoullo 7017 adalah gabungan dari "1970” sebagai tahun jembatan layang dibangun dan "2017” sebagai tahun kelahiran kembali sebagai jalur pejalan kaki. Angka ini juga mengacu pada 17 jalur yang terhubung dan tinggi jalan layang tersebut, yaitu 17 meter.
Berkelanjutan
Filosofi pembangunan Seoullo 7017 diawali gagasan bahwa keindahan tidak dapat dipisahkan dari unsur sejarah yang melekat di dalamnya. Melalui Seoullo 7017, Seoul ingin mengutamakan kota berkelanjutan dan bukan sebaliknya, mengembangkan secara asal dan merusak masa depan kota.
Untuk proyek Seoullo 7017 ini, pemerintah Seoul mengadakan kompetisi desain internasional pada Januari 2015, dan terpilih desain oleh Winy Maas sebagai pemenang.
Winy Maas adalah arsitek kelas internasional dan pernah memenangkan Amsterdam Art Prize pada 2004. Beberapa karya terkenalnya adalah Maquinnext (2012) di Barcelona dan Market Hall (2014) di Rotterdam.
Winy Maas berkata,”Jalan layang di Seoul ini sangat unik, sering kali dibandingkan dengan Highline di New York. Padahal, keduanya berbeda dalam banyak hal, ukurannya berbeda, tinggi, dan konteksnya juga berbeda. Saya pikir proyek ini (Seoullo 7017) lebih menarik, saya suka ide untuk mengubah fungsi jembatan layang,” paparnya seperti dilansir Business Insider, Selasa (10/10/2017).
Menurut Wali Kota Seoul Park Won-soon, pengubahan fungsi jembatan layang kendaraan menjadi khusus pejalan kaki adalah upaya untuk merevitalisasi daerah pusat kota yang masih terbelakang.
"Kami terus berupaya membuat Seoullo 7017 menjadi tempat favorit berkumpulnya orang-orang, yang dapat berperan sebagai katalisator bagi pembaruan dan kebangkitan kembali wilayah itu dan sekitarnya,” tegasnya.
https://properti.kompas.com/read/2017/10/18/110036021/seoullo-7017-model-jalur-pedestrian-humanis-masa-kini